Dalam keseharian kita mengenal tragedi pelecehan dan perendahan. Tak dinyana, inilah dunia yang dihasilkannya: penuh dendam, haus akan kompetisi, tak akan merasa cukup atas apa yang dimiliki. Perang berkecamuk bagai hilir mudik pelanggan Jumat Hitam. Sementara jiwa yang lembut meringkuk, menghindari udara yang mencekik, berlindung di balik bayang-bayang ibu-nya.
Sosok wanita, tanpa perlu dikenal akan selalu menopang apapun yang akhirnya kita kenal. Dalam puncak tahtanya sebagai ibu, "Bagaimana bisa, wahai ibu, aku menjadi ayah namun tak pernah dewasa," seru Nizar dalam suratnya. Wanita itu, hanya dengan keberadaannya yang jauh, mampu membuat rokok-pun membosankan bagi sang pujangga.
Mendengar Nizar, Qais mengganti nama, lalu pergi ke hutan meratapi kegagalannya menjadi waras. Baginya, ia adalah pecundang yang bahkan gagal memahami dalamnya makna ibu yang ia lihat dalam diri Layla. Layla berusaha menghiburnya namun terus diusir Majnun. Hanya kematian Layla yang mampu menarik Majnun dari kegilaannya, lalu merangkak memeluk batu nisan, dan mengundang malaikat kematian. "Bangkitkan aku dalam pengasingan dari dunia ini."
Nizami memerhatikan Majnun dari jauh, dan tertawa. Akhirnya ia belajar, bahwa meski semua cerita disampaikan dari lisan Majnun, namun intinya adalah Layla. Maka ia taruh nama wanita mendahului nama pria. Karena memang begitu adanya.
Wanita-wanita tidak menjadikan cv sebagai riwayat hidupnya, di atas sejarah kemanusiaan-lah mereka meninggalkan jejak kakinya.
Terkutuklah jiwa yang lupa. Ia yang kehilangan kasih sayang wanita, mengalami patah tulang punggung yang parah. Jiwanya meronta bagai seorang anak di samping kuburan ibunya. Tak ada gagak yang mampu menandingi perih suara teriakkannya.
Ingatkan aku, tanpa menyebut nama Tuhan, bahwa wanitalah bumi ini; wanitalah senyum ini; wanitalah hati ini.
No comments:
Post a Comment