Sebagai salah satu kelompok agama yang
resmi diakui negara, Druze mendapat jatah delapan kursi dari total 128 kursi di
parlemen. Juga dengan perkiraan jumlah penganut 5,2 persen total penduduk
Lebanon, Kepala Staff Umum (Chief of General Staff—kepemimpinan militer) harus
dari komunitas Druze.
Druze adalah gerakan keagamaan yang lahir
di Mesir pada masa Kekhalifahan Mamluk (Fatimiyah) awal abad ke-11. Ahli mistik
Ismaili (denominasi Syiah), Hamzah bin Ali dan Muhammad Ad-Darazi datang dari
Persia dan memulai sebuah majlis eksklusif untuk kalangan bangsawan dan
intelektual dengan dukungan Khalifah Al-Hakim. Majlis ini terbentuk dari sebuah
ambisi menyatukan seluruh agama dan manusia dalam sebuah ajaran tauhid yang
paripurna (unitarian, muwahhid). Tiga nilai utama yang jadi fokus adalah
monoteisme (tauhid), tunduk pada Tuhan, dan keadilan sosial.
Pada masa ini, terjadi perpecahan antara
Hamzah dan Darazi. Pemikiran Darazi berkembang dari misi universal sampai beranggapan
bahwa Tuhan telah memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk manusia, khususnya Ali
bin Abi Thalib dan keturunannnya (termasuk Khalifah Al-Hakim), serta dirinya
adalah “Pedang Keimanan”. Hamzah marah, dan menulis pernyataan bahwa Darazi
telah sesat, dan menolak penggunaan pedang untuk menyebarkan agama.
Tahun 1016, Darazi membuka dan mengenalkan
pemikirannya pada masyarakat. Namun gerakan Darazi ditolak dan menyulut protes
keras dari berbagai kalangan di Kairo. Darazi kemudian diusir dan dilarang
berceramah selama satu tahun. Tahun 1018, Darazi dibunuh karena ajarannya,
namun ada sumber yang mengatakan bahwa ia dieksekusi oleh khalifah.
Setahun setelah protes, giliran Hamzah yang
mendakwahkan doktrinnya. Kini gerakan ini mendapat dukungan penuh dari khalifah
yang langsung mengeluarkan dekrit kebebasan beragama. Dengan dukungan ini,
gerakan Hamzah (seterusnya akan disebut komunitas Druze) tersebar ke seantero
negeri.
Beberapa tahun kemudian, Al-Hakim
menghilang dalam sebuah perjalanan dan dipercaya oleh komunitas Druze telah moksa
bersama Hamzah dan tiga petinggi komunitas ke-haribaan-Nya. Namun ada dugaan
bahwa ia dibunuh oleh kakak perempuannya, Sitt Al-Mulk. Anak Al-Hakim yang
masih di bawah umur, Zahir menggantikan posisi ayahnya dan menjadikan Sitt
sebagai walinya. Sementara kepemimpinan Druze dipegang orang yang telah
ditunjuk Hamzah, Muqtana Bahauddin.
Komunitas Druze mengakui Zahir sebagai
khalifah, dan memandang Hamzah sebagai Imam (pemegang otoritas agama Islam
tertinggi yang meneruskan ajaran Nabi Muhammad). Tapi Zahir ingin komunitas
Druze juga menerimanya sebagai Imam. Banyak mata-mata dan propagandis dari sisa
pengikut Darazi lalu memasuki komunitas Druze dengan tujuan memecah dan
menjatuhkan reputasi komunitas ini. Penolakan permintaan khalifah dan aksi spionase
pengikut Darazi berujung pada baku hantam antara penguasa dan komunitas Druze.
Yang paling parah terjadi di Antioch di mana 5.000 pemimpin Druze tewas di
tangan militer. Persekusi ini berlangsung selama tujuh tahun, dan perlahan
komunitas Druze menutupi indentitasnya. Mereka yang selamat kebanyakan berpusat
di Lebanon Selatan dan Suriah.
Dua tahun pasca kematian Zahir (1036),
komunitas Druze baru bisa bernapas kembali dan bergerak secara terbuka—karena
khalifah yang baru punya hubungan erat dengan salah satu pemuka komunitas Druze.
Lalu pada tahun 1043, Bahauddin mendeklarasikan ‘penutupan ajaran’. Setelah 27
tahun mengajak manusia pada ajaran monoteisnya, mereka melihat sudah tak ada
lagi yang bisa dilakukan untuk menyatukan manusia. Maka Druze pun tak lagi
mengajarkan pahamnya dan tak lagi menerima pengikut baru, pun keluarnya
pengikut—yang sampai saat ini masih berlaku.
Saat ini di Lebanon, komunitas Druze
berpusat di Mount Lebanon dan beberapa bagian Lebanon Selatan. Jumlahnya
ditaksir sekitar 200.000 manusia. Tidak ada yang bisa menjadi Druze kecuali
lahir dari dua orang tua Druze. Secara tradisi, komunitas ini melarang
anggotanya menikah dengan komunitas luar.
Sesi ‘peribadatan’ mereka berlangsung sangat
rahasia. Khusus untuk keturunan Druze yang mendeklarasikan penyerahan diri pada
agama—dengan mengambil kelas khusus selama tiga bulan, dan membuktikan bahwa ia
jauh dari ‘tujuh dosa besar’. Sesi rahasia ini berlangsung pada malam Jumat di hilwah
(semacam masjid), di mana para kyai (mereka yang sudah menyerahkan dirinya pada
agama) bergumul dengan kitab ajarannya yang bernama Al-Hikma.
Bagi Druze, reinkarnasi adalah bentuk dari
keadilan Tuhan. Sebagai kesempatan kedua bagi jiwa (khususnya yang mati muda)
untuk kembali ke dunia dan menyempurnakan dirinya sebelum benar-benar menyatu
dengan Tuhan.
Meski mengamini beberapa dogma Kristiani,
dan mengandung banyak pemikiran filsuf Yunani, sebagian besar sumber paham
Druze masih berasal dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad (sebagaimana
akarnya dari Islam Ismaili). Hanya saja, mereka berusaha memperluas cakupan
firman dalam Alquran dengan melakukan tafsiran yang lebih universal—hal ini
bisa dipahami dari upaya pencetusnya menyatukan beragam aliran keagamaan dalam
kesepakatan ketuhanan yang satu. Sementara untuk kewajiban-kewajiban seperti
solat, puasa, dan zakat mereka melihatnya sebagai aktifitas jiwa dan sosial
ketimbang ritual simbolik. Akibatnya, banyak perdebatan di kalangan ulama
Muslim soal status ke-muslim-an anggota Druze. Namun konstitusi Lebanon tetap
memasukkan Druze dalam daftar pecahan Islam.
Komunitas Druze sendiri lebih senang
menyebut dirinya “Muwahhiduun” (Para Monoteis) ketimbang Muslim.
Sementara nama ‘Druze’ awal kali digunakan sejarawan dalam kaitan komunitas
dengan Muhammad Darazi—yang dalam teks-teks komunitas Druze kini disebut
seorang bidah dan sesat.
No comments:
Post a Comment