Monday, 31 July 2023

Asam Garam Yahudi Lebanon

”Bagi banyak orang, ‘Yahudi Lebanon’ tak lebih dari sebuah konsep. Namun nyatanya, Yahudi pernah hidup berdampingan dengan populasi Kristen dan Muslim—mereka bahkan berbagi kursi kekuasaan di parlemen. Beirut, Tripoli, Saida, dan Hasbaya adalah kota yang dulu mereka sebut rumah. Natal dan Idul Fitri adalah momen yang mereka rayakan bersama tetangganya.” —Nadine Mazloum, StepFeed.

Boleh dikatakan bangsa Yahudi konsisten hijrah dari ribuan tahun lalu. Kota ke kota, kerajaan ke kerajaan, negara ke negara. Hingga saat ini, tercatat ada 14 juta diaspora Yahudi di dunia—tercecer di sana-sini. Satu-dua cerita juga mengabarkan keberadaan mereka di Indonesia. Tapi mungkin sulit mendengarnya dengan suka cita di negara kita. Mengingat sudah 70 tahunan isu Yahudi agak sensitif bagi komunitas muslim kebanyakan—sejak berdirinya Israel.

Jika ditanya dari mana asal mereka, paling tidak menurut sejarah, tentu saja sekitaran Timur Tengah. Sebagai turunan Yakub atau Jacob atau Israel, setidaknya kita tahu ia pernah tinggal di Kanaan atau Palestina masa kini. Kisah-kisah mereka selama masa kenabian Muhammad saw juga tidak sedikit. Maka mereka pernah ada di bilangan Madinah.

Lebanon-pun punya kesaksiannya sendiri. Sebuah bangunan tua di kota Saida—yang kini jadi rumah bagi imigran Suriah dan Palestina—dulunya berfungsi sebagai sinagog. Termasuk sinagog tertua di dunia, yang dibangun tahun 833 M. Sinagog ini berdiri di atas reruntuhan kuil yang hancur tahun 66 sebelum masehi. Konon, Jesus pernah berceramah di sana. Jadi setidaknya kita bisa berasumsi, bahwa yahudi sudah ada di Lebanon sejauh ingatan sejarah kita tentang bangsa-nya Rostchild ini.

Namun berbeda dengan negara Arab lainnya, kita masih bisa merayakan perbedaan bersama yahudi di Lebanon. Lepas tumbangnya dinasti Ottoman, Perancis mendapat jatah Lebanon untuk diduduki. Di bawah mandatnya, Lebanon yang masih seperti kumpulan komunitas agama ingin berdaulat. Maka untuk menghindari konflik politik, Lebanon di bawah kekuasaan Perancis untuk pertama kali melakukan sensus penduduk. Sesuai hasilnya, Kristen Maronit mendapat jatah kursi presiden sebagai mayoritas utama. Kemudian Muslim Sunni dapat jatah perdana menteri, dan Muslim Syiah juru bicara parlemen. Sisanya, ada 15 sekte lagi yang terhitung sebagai bagian dari Lebanon mendapat jatah kursi di parlemen dengan jumlah berdasarkan kuantitas penganutnya. Dari situ, dikhususkan satu kursi perwakilan untuk tiga sekte ter-sedikit di Lebanon, salah satunya, sekte yahudi.

Lima tahun setelah Lebanon merdeka dari Perancis, Israel tercipta (1948). Kemarahan negara-bangsa Arab merasuki penduduk Yahudinya dengan ketakutan dan ancaman. Bangsa Yahudi untuk kesekian kalinya hijrah. Tujuan utama terpecah dua: Israel dan Eropa-Amerika. Namun ada tujuan alternatif: Lebanon. Sejak berdirinya Israel, Lebanon adalah satu-satunya negara Arab yang tercatat mengalami kenaikan populasi Yahudi di dalam perbatasannya. Buku The Jews of Beirut mencatat pada tahun 1950, kurang lebih 10.000 orang yahudi masuk ke Lebanon dari Suriah, Iraq, dan sekitarnya. Dengan menjadi satu-satunnya negara Arab yang dipimpin Kristen (Maronit), juga kenyataan bahwa dominasi politiknya tak dipegang satu golongan—boleh dikatakan, epitome Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya—Lebanon jadi negara paling ramah yahudi di kawasan.

Beirut menampung paling banyak Yahudi pada masanya. Di samping rumah megah Perdana Menteri Saad Hariri ada kawasan yang dulu jadi pusatnya Yahudi—sebuah jalan bernama Wadi Abu Jamil. Di kawasan yang membelah pemukiman Kristen dan Muslim ini, pernah berdiri sekolah, pertokoan, juga sinagog Yahudi. Dalam film dokumenter BBC Arabic tahun 2006 berjudul Yahud Lubnani, Mokhtar Itani, penulis buku Our Beirut bercerita, “Mereka (Yahudi) dulu dianggap  bagian dari komunitas Arab Lebanon yang menganut agama Yahudi atau pengikut Musa. Sama seperti Muslim yang mengikuti Islam dan Muhammad, atau Kristen yang mengikuti Isa. Mereka bagian dari penduduk Beirut yang jadi orang-orang terdekat kita. Bahkan, mereka banyak memiliki posisi penting. Ada seorang Rabbi namanya Solomon. Dia adalah ahli sunnat paling terkenal di kalangan Muslim saat itu.” Itani juga mengingat tentang Dokter Nassim Chams, seorang Yahudi yang diberi julukan “Penyembuh Kaum Miskin” (The Healer of The Poor). Ia mendapat tempat khusus di hati masyarakat Beirut atas dedikasinya melayani orang sakit tanpa memungut biaya apapun, bagi siapapun—terlepas agama, ras, dan kebangsaannya.

Secara politik, keberagaman agama yang membangun pemerintahan Lebanon meniscayakan perlindungan setiap sekte yang terlibat dalam kekuasaan. Hal ini juga tertulis jelas di konstitusi yang tersedia di situs resmi kepresidenan: C) Lebanon adalah republik parlementer demokratis yang menghormati kebebasan publik, khususnya kebebasan pendapat dan kepercayaan, dan menjunjung keadilan sosial serta kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warganegaranya tanpa diskriminasi (pembedaan).

Gelombang migrasi pertama yang membuat Lebanon sepi Yahudi adalah perang Arab-Israel tahun 1967.  Perang ini mulai mengaburkan pandangan masyarakat Lebanon atas perbedaan Yahudi dan Zionis. Di tambah merangsek masuknya pengungsi dan militan Palestina ke Beirut. Pada satu masa, penduduk Yahudi mau tak mau membagi atapnya tak hanya dengan sesama warga Lebanonnya, tapi juga Palestina. Sinagog mereka bahkan sempat menjadi pengungsian Palestina ketika perang berkecamuk. Banyak orang bersaksi bahwa terjadi penculikan sampai pembunuhan warga Yahudi oleh militan Palestina. Ketika di saat bersamaan juga banyak yang bercerita bahwa Yaser Arafat, sempat jadi pahlawan Yahudi karena menggunakan pengaruhnya menyelamatkan beberapa keluarga Yahudi dari kesalahpahaman. Namun pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa ketakutan dan ketidak-aman-an lebih nyata dari kedamaiannya. Itu sebabnya pada akhir 1975, tercatat kurang dari 1.000 Yahudi bermukim di Lebanon. Di kemudian hari, Perang Sipil dan perang dengan Israel tahun 1982 membuat makin banyak yang meninggalkan Lebanon—yang jumlahnya kini masih diperdebatkan antara 200 sampai 40 orang.

Orientasi Zionis

Seniman New York asal Lebanon, Rola Khayyat, membuat dokumenter berjudul From Brooklyn to Beirut, yang menceritakan kisah-kisah diaspora Yahudi di negarannya. Dalam wawancara dengan StepFeed, menurutnya komunitas Yahudi Lebanon di Brooklyn cukup mencolok ketimbang minoritas lain di sekitarnya. “Mereka selalu menolak membaur sepenuhnya. Cukup keras kepala memelihara identitas, budaya, dan nilai-nilai Timur Tengah yang mereka dapat di Lebanon.”

Ketika ditanya soal bagaimana mereka melihat hubunganya dengan Lebanon, salah satu narasumber berkata, “Lebanon adalah sebuah kebudayaan. Yahudi adalah sebuah agama. Tak ada kontradiksi bagi keduanya.” Rola juga mengatakan semua narasumbernya berbicara bahasa Arab sefasih dirinya.

Di permulaan abad 20, komunitas Yahudi Lebanon kurang aktif dalam politik dan tak melibatkan diri di perseteruan antara komunitas agama lainnya. Secara umum, komunitas ini cenderung mendukung Nasionalisme Lebanon, dan menempel pada penguasa Perancis. Ketika di saat bersamaan, Perancis pada masa itu tidak simpatik pada ide berdirinya negara Yahudi yang dicanangkan rivalnya, Kerajaan Inggris. Komunitas ini juga apatis terhadap ide tersebut. Memang ada segelintir pemuka komunitasnya yang antusias menyuarakan Zionisme, dengan beberapa dukungan di sana-sini. Sekolah Yahudi terbesar di Beirut, yang didirikan Alliance Israélite Universelle asal Paris juga dengan aktif bicara soal Zionisme. Namun catatan Jewish Agency, organisasi internasional yang menghubungkan Yahudi di dunia menyesali kurangnya “gairah nasional” dari sejawatnya di Lebanon. Lebanon juga tidak mengirim delegasi ke World Zionist Congress.

Dilema Maghen Abraham

Selesai dibangun tahun 1925, Sinagog Maghen Abraham jadi semacam masjid agung bagi penganut Yahudi di Beirut dan sekitarnya. Terletak di Wadi Abu Jamil, sinagog ini terseret badai perang sipil tahun 1975. Dan ketika Israel memburu Palestine Liberation Organization (PLO) sampai ke Beirut, ironisnya, bombardir udara itu juga menghancurkan Maghen Abraham yang sudah kosong waktu itu. Pasalnya, ada kabar bahwa PLO memelindungi kawasan tersebut.

Tahun 2009, gagasan untuk merenovasi Maghen Abraham jadi perbincangan hangat. Isaac Arazi, perwakilan komunitas Yahudi setempat mulai menggalang dana dari diaspora Yahudi Lebanon di Eropa-Amerika. Yang menarik, dukungan datang dari hampir seluruh komponen politik—bahkan Hizbullah sebagai musuh bebuyutan Israel mengeluarkan press release mengenai hal ini. “Ini (Maghen Abraham) adalah tempat ibadaha, dan kami menyambut pemugarannya,” kata Sekjen Hizbullah, Hasan Nasrallah.

Bloomberg melansir Perdana Menteri Fouad Siniora mengatakan, “Kami menghormati agama Yahudi seperti menghormati agama Kristen. Satu-satunya masalah kami adalah dengan Israel.”

Namun sepuluh tahun pasca renovasi, lampu Maghen Abraham belum juga dinyalakan. Pagarnya terkunci dengan penjagaan ketat militer di sekitarnya. Seorang muslim, Bassam al-Hout, pengacara komunitas Yahudi Lebanon mengatakan hanya ada dua rabbi di Lebanon dan membantah adanya rencana Maghen Abraham beroperasi kembali.

The Israelite Community—begitu dokumen negara menyebutnya, nama yang sudah bertahun-tahun dilobi untuk diganti sebagai upaya menjaraki diri mereka dengan negara Israel—kini hidup dalam bayang-bayang sejarah Lebanon. Sulitnya memastikan keberadaan mereka, dan mundurnya komunitas ini dari aktifitas politik seperti parlemen membuat ingatan atasnya perlahan pudar. Sejak awal berdiri Israel mendeklarasikan diri sebagai Negara Yahudi. Dan fakta ini membuat makin kaburnya batas pembeda antara penganut Yahudi dan luka yang disebabkan Israel pada penduduk Lebanon. Selain itu, kondisi politik dan keamanan yang belum stabil menghantui tak hanya komunitas Yahudi, namun seluruh komponen masyarakat. Sehingga aktifitas sekte yang cukup besar seperti eksis kembalinya penganut Yahudi berpotensi meledakkan tensi yang lama dijaga. Dan pernyataan resmi di atas kertas tak lebih dari sekedar pernyataan—tak berpengaruh di jalanan.

Kini media dan masyarakat Lebanon mulai menggunakan kalimat-kalimat nostalgia ketika berbicara soal tetangga Yahudinya. “Alain Abadi biasa duduk di teras, memainkan gitarnya dan bernyanyi. Dia akrab dengan tetangganya, dan sangat sembrono,” kata Berthe Mamo, mantan penduduk Wadi Abu Jamil, mengenang tetangga Yahudinya.

“Apa aku berharap kembali ke Beirut? Tentu saja! Di Facebook, aku selalu bicara soal Lebanon. Aku masih punya teman di sana dan tak bisa melupakan mereka. Aku hidup 35 tahun di sana!” kata Alain Abadi, yang kini tinggal di Tel Aviv mengikuti kemauan ibunya, ketika diwawancara BBC.

‎23-27 ‎April ‎2019

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...