Para penasehat pun langsung berkumpul dan memikirkan
solusinya. Setelah mendapat ide, mereka langsung menyampaikannya pada raja yang
juga langsung memanggil Farhad. “kami berjanji tidak akan mencampuri hubunganmu
dengan Syirin dengan satu syarat.” Kata raja.
Si
arsitek muda spontan melompat kegirangan dan menangis bahagia. “apapun yang
raja agung minta!”
“kami
butuh terowongan bukit Bistun agar bisa pergi ke sisi sebelah sana dengan lebih
cepat dan efisien.”
Selama
bertahun-tahun bukit Bistun menjadi tantangan berat. Bukit batu granit yang
keras tidak memungkinkan dilakukannya penggalian trowongan disana. Belum pernah
ada seorang pun yang sanggup mengatasi kesulitan medan ini. Khusrau tersenyum
sendiri, setelah proyek ini dimulai, Farhad tidak mungkin bisa kembali lagi.
“setelah
kau menyelesaikan proyek ini dan membuat kami puas, kami akan menikahkanmu
dengan Syirin.” Kata Khusrau.
“hamba
akan memulainya besok dan melakukannya dengan segenap kemampuan hamba.” Kata
Farhad yang bahagia membayangkan Syirin menjadi miliknya.
Bagi
Farhad pekerjaan ini tidak sulit. Membayangkan kekasihnya saat bekerja membuat
semua beban otot, punggung, dan terik manusia serasa ringan. Suara dentuman
palu yang menghantam batu terdengar seperti sepatah kata manis yang diucapkan
Syirin kekasihnya. Di sore hari, ketika istirahat ia membuat pahatan Syirin,
Khusrau, dan dirinya di batu. Kemajuan di pahatan batu mencerminkan kemajuan
pekerjaannya di trowongan.
Ketika
mendengar kabar proyek itu, Syirin langsung sadar bahwa proyek ini ditujukan
untuk menghancurkan Farhad. Ia merasa harus pergi untuk memperingati
sahabatnya.
Setelah
berbincang-bincang sebentar, Farhad menunjukan hasil kerjanya pada Syirin.
Proyek ini sudah lebih dari setengah jadi. Akhirnya Syirin memutuskan tidak
memberitahu rencana Khusrau. “Khusrau akan termakan dengan rencana dan
senjatanya sendiri.” Pikir Syirin.
Hari
itu juga Syirin pulang dengan keyakinan bahwa Farhad akan menang. Kabar tentang
pertemuan Syirin dengan Farhad terdengar oleh raja yang langsung panik. Ia
segera kumpulkan penasihatnya. Ia khawatir kalau Syirin jatuh cinta pada
Farhad, untuk apa dia repot-repot menjenguknya? Terlebih lagi, proyek trowongan
sudah hampir selesai. Bagaimana dengan janjinya soal pernikahan? Sungguh ia
telah meremehkan Farhad, pecinta dengan tekad kuat.
Khusrau
menyukai gagasan baru penasihatnya. Ia langsung mengirim utusan, orang tua, ke
bukit Bistun. “apa yang kau lakukan pada bukit itu?” tanyanya.
Farhad
menjelaskan tugasnya, lalu menambahkan, “demi cintaku, tak ada pekerjaan yang
sulit.” Ia memukul dinding batu dengan batunya. “aku akan memindahkan gunung
ini sekiranya aku diharuskan melakukannya!”
Orang
tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. “sayang...” ia palingkan
wajahnya seakan-akan menyembunyikan air matanya. Farhad memperhatikannya.
“apa
maksudmu?” tanya Farhad sambil menaruh palunya.
“bukan
apa-apa.” Jawab orang tua seakan enggan bicara.
“engkau
harus mengatakannya padaku.”
“aku
tidak bisa membayangkan kau bekerja sedemikian keras... dan untuk apa?”
Farhad
memegang pundak orang tua itu, “tolong, katakan apa yang kau ketahui!”
“kekasihmu
sudah meninggal,” kata orang tua itu dengan keras dengan wajah sedih. “Syirin
sudah meninggal beberapa hari lalu!”
Farhad
melepaskan tangannya dari tangan orang itu dan jatuh ke tanah, pingsan.
Malam
tiba. Orang tua itu sudah lama pergi. Farhad belum juga bergerak.
Sedikit
demi sedikit Farhad sekarat dalam tubuhnya. Beban yang selama ini ditanggung tubuhnya
mulai menggerogotinya. Ia terseok-seok di tanah dan menggapai lukisan Syirin
yang telah dipahatnya. Tangannya yang penuh luka dan goresan mulai berdarah
saat ia menyentuh wajah Syirin. Kini darahnya membasahi wajah Syirin. Ia
tekankan wajahnya ke pahatan wajah kekasihnya itu, dan perlahan Farhad
meninggal.
Esoknya,
Khusrau menyinggkirkan jasad Farhad dari Bistun dan menguburkannya di pemakaman
sederhana dekat situ.
Syirin
berduka untuk beberapa hari. Khusrau mengirim surat belasungkawa yang dibalasnya
seperti ini: “engkau telah merenggut sahabat terbaik kami. Aku berdoa semoga
Tuhan mengampunimu.”
Kenangan
tentang Farhad pun dalam waktu singkat menghilang. Semuanya berjalan seperti
biasa. Cinta Syirin yang makin dalam membuatnya memaafkan perbuatan Khusrau
pada Farhad. Syirin masih mencintai Khusrau, begitu juga Khusrau. Namun mereka
hanya bisa menanyakan kabar masing-masing lewat sahabat-sahabatnya tanpa pernah
saling bertemu.
Sekali
lagi, tragedi terjadi. Maryam tiba-tiba sakit keras, dan tak lama, meninggal.
Setelah masa berkabung usai, Syirin menulis surat pada raja: “walaupun ratu
sudah tiada, aku yakin yang mulia bisa memperoleh kesenangan dari pelukan
gadis-gadis muda.” Khusrau yang berang dengan ejekan ini, bukannya melawan
malah melakukan saran Syirin.
Selama
beberapa tahun Khusrau bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik. Namun,
akhirnya kemarahannya mereda dan ia menyesali perbuatannya yang tergesa-gesa.
Ia mulai teringat dan merindukan Syapur, sahabat dan kerabat lamanya, yang
sudah bertahun-tahun menemani Syirin dan memberitahu bahwa ia ingin bertemu
dengannya.
Syapur
segera mengatur pertemuan di ruang pribadinya, dan menyruh Syirin menunggu di
ruangan sebelah. Setelah menjawab pertanyaan penting Khusrau tentang Syirin,
Syapur meyakinkan bahwa Syirin masih mencintainya. Syirin tidak membiarkan ada
pria lain masuk dalam hatinya. Syirin mengikuti kabar tentang Khusrau tiap
hari, kata Syapur. “aku lebih mengenalmu ketimbang dirimu sendiri,” kata
Syapur, “aku tahu kau masih mencintai Syirin, tapi sama dengan Syirin, engaku
keras kepala dan gengsi untuk mengakuinya.” Ia berjalan menghampiri Khusrau,
lalu memegang bahunya. “sekarang saatnya kawan, sudah saatnya kau bertemu dan
meminta maaf padanya.” Sebelum Khusrau menjawab, Syirin memasuki ruangan yang
perlahan ditinggalkan Syapur. Pelan-pelan Syapur pergi dan menutup pintu.
Kemarahan
dan keputus-asaan selama bertahun-tahun seakan lenyap ketika dua pecinta itu
berpelukan. Khusrau dan Syirin bercerita tentang segala hal yang mereka lalui
ketika berpisah. Kemudian Khusrau berlutut dihadapan Syirin dan dengan rendah
hati memohon Syirin agar sudi menjadi permaisurinya.
Esoknya,
Syirin diarak ke ibukota. Dayang-dayang membantu Syirin menggunakan busana
pernikahan yang mewah. Seluruh warga kota diundang menyaksikan momen luar biasa
ketika dua kekasih ini berlutut dihapan pendeta agung. Akhirnya mereka
dipersatukan dalam perkawinan. Perayaan itu berlangsung meriah selama beberapa
hari.
Syirin
menyerahkan tahta Armenia pada Syapur dan langsung menjadi penasihat paling
bijak untuk raja. Seluruh rakyat mencintainya dan bebas mangadukan
kesulitannya. Syirin yang mendengarkan semuanya lalu memberi saran pada
Khusrau. Belum pernah Persia menyaksikan masa kemakmuran dan kejayaan seperti
itu.
Namun,
dalam gambar putih dan terang seperti itu masih ada titik hitam. Titik itu
adalah Syirviyeh, putra Khusrau dari hasil pernikahannya dengan Maryam. Sejak
kecil anak ini sudah nakal. Khusrau pun mengkhawatirkannya. Oleh sebab itu,
mengikuti saran penasihatnya, Khusrau tidak menobatkan Syirviyeh sebagai pewaris
tahtanya. Syirviyeh tidak tahan melihat ayahnya hidup bahagia dan terkenal di
tengah rakyatnya. Sudah lama ia menyimpan dendam dan menyalahkan kelalaian
Khusrau atas kematian ibunya. Yang lebih parah lagi, sebagai seorang pemuda
dengan nafsu yang bergelora, Syirviyeh tak kuasa mengagumi kecantikan Syirin
dan jatuh cinta padanya. Segenap keluh kesahnya ini membuat ia diam-diam
merencanakan sesuatu untuk ayahnya.
Untuk
membangun kekuatan di istana raja, ia membayar beberapa orang dan menjanjikan
kekayaan dan jabatan sekiranya ia dapat berkuasa kelak. Dengan hati-hati ia
menghimpun hati orang-orang disekitarnya dengan pergi ke tempat-tempat umum. Ia
menyamar sebagai orang awam, bergaul, dan bersahabat dengan mereka. Meskipun
sang raja tidak terlalu berkomentar dan mempedulikannya di istana, Syirviyeh
berhasil memberi kesan dalam benak masyarakat bahwa dialah selama ini membela
hak-hak rakyat di sitana. Karena jasanyalah Persia mengalami masa kejayaan
seperti ini.
Sesudah
menjilat dan mengambil muka di kalangan orang banyak, Syirviyeh merencanakan
perbutan kekuasaan. Ia dengan diiringi pengikutnya menjebloskan Khusrau dan
Syirin ke penjara istananya sendiri. Anak durhaka ini lantas naik tahta dan
menobatkan dirinya sebagai raja.
Yang
cukup mengehrankan, raja tidak berusaha merebut kembali tahtanya. Bersama
dengan Syirin mereka hidup bahagia di kamar sederhana yang membatasi
gerak-geriknya.
Melihat
kebahagiaan ini merupakan kekalahan telak bagi Syirviyeh. Karena sangat
menginginkan Syirin, ia berpikir bahwa Syirin masih ingin menjadi ratu dan akan
datang padanya dengan senang hati. Rupanya Syirin tetap setia dengan cintanya
walaupun harus meninggalkan segala kemewahan. Karena tidak tahan melihat Syirin
dalam rangkulan pelukan ayahnya yang bahagia, ia sibuk membuat rencana baru.
Saat
itu tengah malam. Bulan purnama sudah muncul. Tak ada suara yang terdengar di
istana. Syirviyeh diam-diam membuka pintu ruangan tempat kedua tawanan disekap.
Khusrau dan Syirin tidur berdampingan dengan pulas. Cukup lama ia pandangi
wajah ayahnya. Bisa ia rasakan banyaknya kemarahan dalam muka ayahnya. Dengan
gemetar, ia hunus belatinya dan menancapkannya di jantung sang raja. Ia segera
lari meninggalkan ruangan.
Khusrau
terbangun dan merasakan nyeri yang amat sangat di dadanya. Khusrau pun sadar
bahwa ia sekarat. Tapi, karena tidak ingin membangunkan dan mengejutkan Syirin,
ia menggigit bibir sambil menahan sakit dan nyeri sampai kemudian meninggal.
Darah segar Khusrau membangunkan Syirin. Akan tetapi, sudah terlamabat, sebab
suami tercintanya sudah menghembuskan nafas terakhirnya, dibunuh secara dingin.
Tidak
sulit bagi Syirin mengetahui siapa pembunuhnya, namun ia memilih diam. Yang
dilihat orang banyak hanyalah Syirin pasrah dengan keadaan, dan dengan senang
hati menerima lamaran Syirviyeh. Ia hanya meminta waktu untuk pemakaman
Khusrau.
Syirin
diam-diam menyumbangakan seluruh kekayaannya pada kalangan miskin. Ia hanya
menyisakan pakaian terbaiknya dan berlian yang kemudian dikenakannya saat
pemakaman. Saat berjalan bersama rombongan wanita, seluruh mata terkesima
dengan dandanannya yang sangat cantik dan pakaian yang sangat bagus. Benarkah
ini perilaku janda yang sedang berkabung? Yang lebih parah, sang ratu
menari-nari diperjalanan menuju pemakaman. Mungkin, ia bahagia dengan kematian
suaminya, atau ia sudah benar-benar gila!
Di
ruang pemakaman Khusrau, ia meminta waktu untuk menyendiri dan mengucapkan
selamat tinggal pada suaminya. Setelah semua orang pergi, Syirin berdiri dengan
tenang dan khidmat di sebelah Khusrau, sambil memandangi mata suaminya yang
tertutup. Kemudian, dengan tenang ia mengambil sesuatu dari dalam pakaiannya.
Dengan mata tertutup, tanpa ragu-ragu Syirin menancapkan belati ke jantungnya
sendiri. Ia kemudia ambruk di atas jasad suaminya dan meletakkan kepala di atas
dada kekasihnya. Perlahan, Syirin mengehembuskan nafas terakhir, dengan senyum
tersungging di bibirnya. (tamat)
CATATAN
Tidaklah
jelas apakah berbagai peristiwa yang dituturkan dalam Khusrau dan Syirin benar-benar terjadi dalam sejarah, ataukah hanya
imajinasi Nizhami (tokoh sufi, penutur kisah ini) semata. Namun yang pasti, ada
seorang raja Persia bernama Khusrau yang berkuasa selama dinasti Sassaniyah,
yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. Ada juga sebuah monumen sejarah, pahatan
dua orang pria dan satu wanita, di bukit Bistun, dekat kota Kirmansyah, Iran
barat. Pahatan tersebut telah dipugar. Dewasa ini, Bistun menarik minat banyak
wisatawan timur tengah. Karya seninya sangat terkenal dan dikagumi oleh para
seniman, pecinta keindahan, dan mereka yang kagum dengan tema percintaan yang
dikemukakannya.
*)cerita ini di kutip dari buku; Layla & Majnun, karangan Mojdeh Bayat & Muhammad Ali Jamnia, penerbit lentera.
No comments:
Post a Comment