Thursday 30 January 2014

Pangeran Persia dan Putri Armenia (1)


Khusrau dan Syirin

Alkisah, ada seorang pangeran persia bernama Khusrau. Ia memiliki saudara sepupu bernama Syapur. Suatu hari Syapur bercerita tentang sorang putri Armenia yang pernah dilihatnya. Khusrau sedemikian tergugah dan tertarik dengan penuturan memikat tentang putri itu sehingga ia pun jatuh cinta hanya dengan membayangkannya. Malahan, Syapur pun heran dengan gambaran yang dituturkannya. Tampaknya mustahil kalau ia telah mengemukakan gambaran demikian.
Disebrang sana, Syirin tidak tahu soal kisah penggemarnya yang dimabuk cinta. Ia pun tak akan peduli jika ia mengetahuinya. Pikirannya terlalu bebas untuk diusik oleh urusan pernikahan dan asmara semacam itu. Barangkali, semangat bebasnya inilah yang membuatnya begitu menarik. Ia dibesarkan sebagai satu-satunya pewaris tahta Armenia. Bibinya, Mahin, sang Ratu Agung tidak punya anak. Karenanya, Syirin pun diangkat sebagai penggantinya. Hal ini membuatnya harus mempelajari hal-hal yang tak lazim bagi sorang gadis, seperti berkuda, berburu, dan berbagai keterampilan kaum pria lainnya.


Tapi Syirin tetaplah seorang Syirin. Latihan-latihan kaum pria tetap menjadikannya sorang wanita yang menawan: matanya yang biru dan memancarkan sinar; pipinya yang kemerah-merahan sehingga tampak nyaris tidak alami, karena kulit tubuhnya biasa-biasa saja; rambutnya yang tebal, hitam, dan ikal menari-nari dengan bebas di wajahnya. Kecantikannya begitu agung sehingga Syapur sesungguhnya tidak melebih-lebihkannya.  Sang Pangeran sangat ingin bertemu dengannya. Akhirnya, Syapur setuju berangkat ke Armenia untuk membawa putri bersamanya. 
Musim panas, dengan cuacanya yang cerah dan bunga-bunganya yang mekar membawa semangat bahagia kepada Armenia. Syirin memiliki kebiasaan berkemah pada musim ini. Tempat kediaman khususnya adalah sebuah air terjun yang dikelilingi pohon yang rindang sehingga tertutup keberadaanya. Ditemani dayang-dayang dan sahabat-sahabatnya ia berkemah disana dan bersenang-senang. Area yang tertutup membuat ia dan rombongannya bisa berenang secara pribadi.
Ketika Syapur tiba di ibukota Armenia, ia mendapat kabar kepergian Syirin keluar kota dan langsung berangkat kesana. Dalam perjalanannya ia memikirkan rencana perebutan hati Syirin untuk sang Pangeran.
Sore hari, Syapur sampai di perkemahan sang Putri. Ia berjalan di dekat perkemahan tanpa diketahui seorang pun. Sambil memerhatikan sekelompok orang yang sedang bersenang-senang ia menemukan barisan pohon kenari disebelah kemah yang cocok dengan rencanya.
Syapur adalah seorang seniman berbakat. Ia buat sketsa lukisan Pangeran tampan dalam jubah satin biru tua dengan hiasan berlian dan batu safir, dengan tangannya betumpu pada pedang yang tersarung di sabuknya. Mata hitam Khusrau yang ekspresif memandang langsung siapapun yang melihatnya. Beberapa utas rambut yang menjuntai di dahinya membuat wajahnya tampak acuh-tak acuh. Dengan hidung mancung dan mulut sedikit terkatup, membuat lukisan dirinya benar-benar menarik.
Dengan membawa hasil karyanya, ia dekati salah satu pohon kenari dan menempel lukisan Khusrau disana. Setelah selesai ia mulai bersembunyi sambil menunggu apa yang akan terjadi. Tak lama, Syirin akhirnya berjalan terpisah dari kelompoknya. Ia melangkah pelan-pelan, menghirup udara dan aroma dedaunan, sambil menyingkirkan segala pikiran yang lalu dan akan datang. Setelah mencapai ketenangan yang sempurna, ia membuka mata. Pandangannya tertuju pada lukisan yang digantungkan Syapur di salah satu batang pohon di hadapannya. Dengan penasaran ia mencari tahu. Ia dekati pohon itu dan mengamatinya.
Ternyata, itu adalah lukisan seorang pria paling tampan yang pernah dilihantnya. “siapakah gerangan ini?”, tanyanya dalam hati. Ia mengambil lukisan itu dari pohon, dan mengamatinya agak lama. Ia merasa ada sesuatu yang mengaduk-aduk hatinya. Apa yang terjadi? Ia kembali ketenda sambil menyembunyika lukisan itu dalam bajunya. Ia sudah lupa hendak berjalan-jalan kemana. Sepanjang hari ia duduk di pinggir sungai sambil merenung. Melihat perubahan sikapnya ini sahabat-sahabatnya khawatir dan menanyai keadaaanya, “ayolah Syirin, ada apa denganmu? Kau seperti baru melihat hantu”,  tanpa menjawab, ia berdiri dan kembali ke tenda. Di tenda ia amati lagi lukisan si pria tampan sampai akhirnya tertidur.
Salah satu dayang Syirin yang setia, Abigail, juga mengkhawatirkan perubahan suasana hati tuannya. Diliputu rasa ingin tahu, ia mengamati tuannya dari jauh dan mengikutinya saat masuk ke tenda. Melihat Syirin tidur setelah memandangi lukisan, ia mengendap masuk dan mengambil lukisan tersebut.
Karena sangat mempedulikan tuannya, Abigail membawa lukisan itu ke hadapan sahabat-sahabtnya, dan menceritakan apa yang dilihatnya. Sesudah membicarakan perubahan-perubahan Syirin, sahabat-sahabatnya berkesimpulan bahwa Syirin jatuh cinta pada lukisan si pria. Karena mengkhawatirkannya, mereka bersamaan berusaha memyakinkan Syirin agar melupakan lukisan itu, “bagaimana kalau bibimu tahu soal ini?”, tanya salah satu dari mereka, “apa yang akan kau katakan kepadanya? Bahwa engkau jatuh cinta pada sebuah lukisan?”. Semakin keras mereka berusaha, semakin jelan permasalahan ini di mata mereka. Usaha mereka sia-sia, lukisan itu telah menawa hati Syirin.
Ironis bukan? Syirin dan Khusrau saling jatuh cinta lewat gambaran sosok masing-masaing tanpa pernah bertemu satu sama lain!
Beberapa kali ia kembali ke tempat lukisan ditemukan dengan harapan memperoleh informasi. Ia minta dayang-dayangnya untuk mengecek keadaan sekelilingnya dan mencari apa yang bisa mereka temukan.
Dayang-dayang itu menemukan Syapur, sedang beristirahat di bawah sebuah pohon tak jauh dari perkemahan. Mereka membawa Syapur ke hadapan sang Putri. Syirin bertanya soal identitasnya, dan apa yang dilakukannya disini. Syapur pun memperkenalkan diri, memberi salam hormat, dan mengatakan bahwa ia musafir yang kebetulan lewat sini.
Syirin menatap Syapur dengan sorot mata menduga-duga, “seseorang telah meninggalkan lukisan ini di pohon, apakah kau melihat orang lain di sekitar sini?”
Syapur, dengan wajah keheranan, menatap lukisan tersebut, “memangnya kenapa wahai putri? Ini adalah lukisan Pangeran Khusrau dari Persia!”, ia melihat Syirin dengan ekspresi penuh kekaguman, “Pangeran yang mulia ini adalah seseorang yang paling gagah berani.”, setelah meletakkan lukisan itu ia berkata, “Hamba merasa terhormat berada di istana beliau dan menemaninya bertahun-tahun. Hamba masih kerabat dekatnya.”
Melupakan asal-usul lukisan, Syirin malah terus bertanya tentang Khusrau. Syapur menceritakannya dengan semangat seperti waktu menceritakan tentang Putri pada saudara sepupunya. Syapur menganjurkan agar Sang Putri pergi ke Persia untuk bertemu sang pangeran, “hamba yakin pangeran akan merasa terhormat menerima anda, tuan Putri.”
Syirin berpikir cepat. Pergi ke Persia? Apa yang harus ia katakan pada bibinya? Bagaimana kalau ia pergi sendiri, lalu mengirim surat permintaan maaf bahwa ia sudah di Persia dan bertemu dengan pangerannya. Mungkin ini bisa jadi kabar gembira! “aku tak inigin ada satupun yang tahu soal kepergianku”, kata Syirin pada Syapur, “jika bibiku tahu, ia akan membawaku pulang.”
Syapur berjanji akan mengelabui dayang-dayangnya agar ia bisa pergi tanpa diketahui. Syapur akan menyusul setelah memastikan tidak ada yang mengikuti. Syapur menyarankan agar sang putri berdandan seperti pria demi keselamatanya.
Syirin pun menunggang kudanya, Syahbiz, yang paling baik dan paling kencang larinya di negri itu. Tak ada yang bisa mengejarnya kalau ia menunggangi Syahbiz! Bahkan Syapur pun, yang berangkat dua jam setelahnya tertinggal bermil-mil jauhnya. Ketika bibi Mahin mengetahui perihal keponakannya yang hilang, gadis itu sudah pergi, tanpa diketahui arah tujuannya.
Di Persia, raja Hurmuz, mengadakan perjalanan singkat ke luar kota. Mengambil keuntungan dari kepergian ayahnya, Khusrau mencetak uang logam dengan gambar dirinya, bukan ayahnya. Setelah kembali ke Mada’in, ibukota kerajaan, Hurmuz sangat marah. “apa-apaan ini? ‘kini ayah telah pergi, akulah raja Persia’?”, katanya pada penasihatnya. “aku ingin dia pergi dari ibukota dan jangan kembali lagi!”
Namun, sebelum keputusan sang Ayah keluar, ia sudah pergi meninggalkan Mada’in. Dengan tidak menghiraukan peringatan sahabat-sahabat istananya soal kemarahan sang Ayah, ia pergi ke Persia. Ia lelah menunggu Syapur, dan memutuskan menjemput Syirin dengan tanganya sendiri.
Di tengah perjalanan, ia berhenti di sungai untuk istirahat. Ia tari kudanya ke sema-semak untuk bersembunyi. Ada seorang gadis sedang berenang disana. Tubuhnya yang putih mulus laksana pualam bergerak dengan tangkas di dalam air, dan rambutnya tergerai ke wajah dan bahunya, yang membuatnya tampak sangat cantik. Sepertinya ia sudah pernah melihat gadis ini sebelumnya, entah kapan dan dimana. Ketika gadis itu keluar sungai dan mengenakan pakaian pria—yang mengejutkan, pakaian pria—Khusrau memalingkan wajahnya karena malu telah melihat tubuh gadis itu.
Mendengar ringikan kuda, Khusrau berbalik, dan gadis itu sudah hilang secepat hembusan angin. Ia mengecek sekeliling dan tidak menemukan tanda keberadaan gadis tersebut. “kuda apa yang bisa lari sekencang ini?” tanyanya dalam hati.
Jarakanya dengan ibukota Armenia masih bermil-mil jauhnya ketika ia melihat seorang penunggang kuda dari kejauhan. Ternyata itu Syapur. Dengan gembira Khusrau memberi salam padanya dan menceritakan semua yang terjadi ketika kepergiannya. Dan sekarang ia ingin meminta suaka pada Mahin. Sebaliknya, Syapur mengatakan bahwa Syirin sedang menuju Persia untuk bertemu dengannya. Akhirnya Khusrau menyadari bahwa gadis yang ia lihat di sungai adalah Syirin, pujaan hatinya.
Namun, sayang, Khusrau tidak bisa kembali sekarang. Ia sudah mendapat kemarahan ayahnya. Tanpa dukungan ayahnya, hidupnya terancam oleh orang-orang istana yang oportunis. Ia memang sudah mencurigai beberapa orang yang berhasrat merebut tahta kerajaan. Namun kurangnya bukti yang bisa ditunjukan pada sang ayah membuatnya diam saja. Akhirnya ia teruskan perjalanan ke Armenia.
Ketika Syirin tiba di Mada’in, ia tahu bahwa sang Pangeran telah kabur. Ia bingung harus bagaimana. Ia menyesal karena sudah sampai ditujuan tanpa hasil tapi takut kembali ke Armenia karena sudah pergi tanpa izin bibinya. Setelah diberitahu soal identitas dan tujuan kedatangan Syirin ke Persia, raja hurmuz pun memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan raja membangunkan rumah besar di tanah milik Khusrau dan mengangkat dayang-dayang untuk menemani Syirin selama tinggal di Persia. Syirin pun tinggal bersama dayang dan rumahnya yang baru dengan hati kesepian.
Di Armenia, Mahin menyambut Khusrau dan Syapur dengan hangat. Mereka tinggal di vila istana. Karena yakin bahwa Syirin tidak akan kembali sendiri, ia mengutus Syapur untuk menjemput kembali Syirin. Akan tetapi, surat nasib menyodorkan permainan baru bagi dua kekasih malang ini. Belum lewat sehari kepergian Syapur, Khusrau mendapat perintah kembali ke Persia untuk segera naik tahta menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal. Khusrau berangkat ke Persia.
bersambung...

*)cerita ini di kutip dari buku; Layla & Majnun, karangan Mojdeh Bayat & Muhammad Ali Jamnia, penerbit lentera.

LIHAT: Pangeran Persia dan Putri Armenia (2)
Pangeran Persia dan Putri Armenia (3)

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...