Khusrau dan Syirin
Alkisah, ada seorang pangeran
persia bernama Khusrau. Ia memiliki saudara sepupu bernama Syapur. Suatu hari
Syapur bercerita tentang sorang putri Armenia yang pernah dilihatnya. Khusrau
sedemikian tergugah dan tertarik dengan penuturan memikat tentang putri itu
sehingga ia pun jatuh cinta hanya dengan membayangkannya. Malahan, Syapur pun
heran dengan gambaran yang dituturkannya. Tampaknya mustahil kalau ia telah
mengemukakan gambaran demikian.
Disebrang sana, Syirin tidak tahu
soal kisah penggemarnya yang dimabuk cinta. Ia pun tak akan peduli jika ia
mengetahuinya. Pikirannya terlalu bebas untuk diusik oleh urusan pernikahan dan
asmara semacam itu. Barangkali, semangat bebasnya inilah yang membuatnya begitu
menarik. Ia dibesarkan sebagai satu-satunya pewaris tahta Armenia. Bibinya,
Mahin, sang Ratu Agung tidak punya anak. Karenanya, Syirin pun diangkat sebagai
penggantinya. Hal ini membuatnya harus mempelajari hal-hal yang tak lazim bagi
sorang gadis, seperti berkuda, berburu, dan berbagai keterampilan kaum pria
lainnya.
Tapi Syirin tetaplah seorang Syirin.
Latihan-latihan kaum pria tetap menjadikannya sorang wanita yang menawan:
matanya yang biru dan memancarkan sinar; pipinya yang kemerah-merahan sehingga
tampak nyaris tidak alami, karena kulit tubuhnya biasa-biasa saja; rambutnya
yang tebal, hitam, dan ikal menari-nari dengan bebas di wajahnya. Kecantikannya
begitu agung sehingga Syapur sesungguhnya tidak melebih-lebihkannya. Sang Pangeran sangat ingin bertemu dengannya.
Akhirnya, Syapur setuju berangkat ke Armenia untuk membawa putri bersamanya.
Musim panas, dengan cuacanya yang
cerah dan bunga-bunganya yang mekar membawa semangat bahagia kepada Armenia.
Syirin memiliki kebiasaan berkemah pada musim ini. Tempat kediaman khususnya
adalah sebuah air terjun yang dikelilingi pohon yang rindang sehingga tertutup
keberadaanya. Ditemani dayang-dayang dan sahabat-sahabatnya ia berkemah disana
dan bersenang-senang. Area yang tertutup membuat ia dan rombongannya bisa
berenang secara pribadi.
Ketika Syapur tiba di ibukota
Armenia, ia mendapat kabar kepergian Syirin keluar kota dan langsung berangkat
kesana. Dalam perjalanannya ia memikirkan rencana perebutan hati Syirin untuk
sang Pangeran.
Sore hari, Syapur sampai di
perkemahan sang Putri. Ia berjalan di dekat perkemahan tanpa diketahui seorang
pun. Sambil memerhatikan sekelompok orang yang sedang bersenang-senang ia
menemukan barisan pohon kenari disebelah kemah yang cocok dengan rencanya.
Syapur adalah seorang seniman
berbakat. Ia buat sketsa lukisan Pangeran tampan dalam jubah satin biru tua
dengan hiasan berlian dan batu safir, dengan tangannya betumpu pada pedang yang
tersarung di sabuknya. Mata hitam Khusrau yang ekspresif memandang langsung
siapapun yang melihatnya. Beberapa utas rambut yang menjuntai di dahinya
membuat wajahnya tampak acuh-tak acuh. Dengan hidung mancung dan mulut sedikit
terkatup, membuat lukisan dirinya benar-benar menarik.
Dengan membawa hasil karyanya, ia
dekati salah satu pohon kenari dan menempel lukisan Khusrau disana. Setelah
selesai ia mulai bersembunyi sambil menunggu apa yang akan terjadi. Tak lama,
Syirin akhirnya berjalan terpisah dari kelompoknya. Ia melangkah pelan-pelan,
menghirup udara dan aroma dedaunan, sambil menyingkirkan segala pikiran yang
lalu dan akan datang. Setelah mencapai ketenangan yang sempurna, ia membuka
mata. Pandangannya tertuju pada lukisan yang digantungkan Syapur di salah satu
batang pohon di hadapannya. Dengan penasaran ia mencari tahu. Ia dekati pohon
itu dan mengamatinya.
Ternyata, itu adalah lukisan
seorang pria paling tampan yang pernah dilihantnya. “siapakah gerangan ini?”,
tanyanya dalam hati. Ia mengambil lukisan itu dari pohon, dan mengamatinya agak
lama. Ia merasa ada sesuatu yang mengaduk-aduk hatinya. Apa yang terjadi? Ia
kembali ketenda sambil menyembunyika lukisan itu dalam bajunya. Ia sudah lupa
hendak berjalan-jalan kemana. Sepanjang hari ia duduk di pinggir sungai sambil
merenung. Melihat perubahan sikapnya ini sahabat-sahabatnya khawatir dan
menanyai keadaaanya, “ayolah Syirin, ada apa denganmu? Kau seperti baru melihat
hantu”, tanpa menjawab, ia berdiri dan
kembali ke tenda. Di tenda ia amati lagi lukisan si pria tampan sampai akhirnya
tertidur.
Salah satu dayang Syirin yang
setia, Abigail, juga mengkhawatirkan perubahan suasana hati tuannya. Diliputu
rasa ingin tahu, ia mengamati tuannya dari jauh dan mengikutinya saat masuk ke
tenda. Melihat Syirin tidur setelah memandangi lukisan, ia mengendap masuk dan
mengambil lukisan tersebut.
Karena sangat mempedulikan tuannya,
Abigail membawa lukisan itu ke hadapan sahabat-sahabtnya, dan menceritakan apa
yang dilihatnya. Sesudah membicarakan perubahan-perubahan Syirin,
sahabat-sahabatnya berkesimpulan bahwa Syirin jatuh cinta pada lukisan si pria.
Karena mengkhawatirkannya, mereka bersamaan berusaha memyakinkan Syirin agar
melupakan lukisan itu, “bagaimana kalau bibimu tahu soal ini?”, tanya salah
satu dari mereka, “apa yang akan kau katakan kepadanya? Bahwa engkau jatuh
cinta pada sebuah lukisan?”. Semakin keras mereka berusaha, semakin jelan
permasalahan ini di mata mereka. Usaha mereka sia-sia, lukisan itu telah menawa
hati Syirin.
Ironis bukan? Syirin dan Khusrau
saling jatuh cinta lewat gambaran sosok masing-masaing tanpa pernah bertemu
satu sama lain!
Beberapa kali ia kembali ke tempat
lukisan ditemukan dengan harapan memperoleh informasi. Ia minta
dayang-dayangnya untuk mengecek keadaan sekelilingnya dan mencari apa yang bisa
mereka temukan.
Dayang-dayang itu menemukan Syapur,
sedang beristirahat di bawah sebuah pohon tak jauh dari perkemahan. Mereka membawa
Syapur ke hadapan sang Putri. Syirin bertanya soal identitasnya, dan apa yang
dilakukannya disini. Syapur pun memperkenalkan diri, memberi salam hormat, dan
mengatakan bahwa ia musafir yang kebetulan lewat sini.
Syirin menatap Syapur dengan sorot
mata menduga-duga, “seseorang telah meninggalkan lukisan ini di pohon, apakah
kau melihat orang lain di sekitar sini?”
Syapur, dengan wajah keheranan,
menatap lukisan tersebut, “memangnya kenapa wahai putri? Ini adalah lukisan
Pangeran Khusrau dari Persia!”, ia melihat Syirin dengan ekspresi penuh
kekaguman, “Pangeran yang mulia ini adalah seseorang yang paling gagah
berani.”, setelah meletakkan lukisan itu ia berkata, “Hamba merasa terhormat
berada di istana beliau dan menemaninya bertahun-tahun. Hamba masih kerabat
dekatnya.”
Melupakan asal-usul lukisan, Syirin
malah terus bertanya tentang Khusrau. Syapur menceritakannya dengan semangat
seperti waktu menceritakan tentang Putri pada saudara sepupunya. Syapur
menganjurkan agar Sang Putri pergi ke Persia untuk bertemu sang pangeran,
“hamba yakin pangeran akan merasa terhormat menerima anda, tuan Putri.”
Syirin berpikir cepat. Pergi ke
Persia? Apa yang harus ia katakan pada bibinya? Bagaimana kalau ia pergi
sendiri, lalu mengirim surat permintaan maaf bahwa ia sudah di Persia dan
bertemu dengan pangerannya. Mungkin ini bisa jadi kabar gembira! “aku tak
inigin ada satupun yang tahu soal kepergianku”, kata Syirin pada Syapur, “jika
bibiku tahu, ia akan membawaku pulang.”
Syapur berjanji akan mengelabui
dayang-dayangnya agar ia bisa pergi tanpa diketahui. Syapur akan menyusul
setelah memastikan tidak ada yang mengikuti. Syapur menyarankan agar sang putri
berdandan seperti pria demi keselamatanya.
Syirin pun menunggang kudanya,
Syahbiz, yang paling baik dan paling kencang larinya di negri itu. Tak ada yang
bisa mengejarnya kalau ia menunggangi Syahbiz! Bahkan Syapur pun, yang
berangkat dua jam setelahnya tertinggal bermil-mil jauhnya. Ketika bibi Mahin
mengetahui perihal keponakannya yang hilang, gadis itu sudah pergi, tanpa
diketahui arah tujuannya.
Di Persia, raja Hurmuz, mengadakan
perjalanan singkat ke luar kota. Mengambil keuntungan dari kepergian ayahnya,
Khusrau mencetak uang logam dengan gambar dirinya, bukan ayahnya. Setelah
kembali ke Mada’in, ibukota kerajaan, Hurmuz sangat marah. “apa-apaan ini?
‘kini ayah telah pergi, akulah raja Persia’?”, katanya pada penasihatnya. “aku
ingin dia pergi dari ibukota dan jangan kembali lagi!”
Namun, sebelum keputusan sang Ayah
keluar, ia sudah pergi meninggalkan Mada’in. Dengan tidak menghiraukan
peringatan sahabat-sahabat istananya soal kemarahan sang Ayah, ia pergi ke
Persia. Ia lelah menunggu Syapur, dan memutuskan menjemput Syirin dengan
tanganya sendiri.
Di tengah perjalanan, ia berhenti
di sungai untuk istirahat. Ia tari kudanya ke sema-semak untuk bersembunyi. Ada
seorang gadis sedang berenang disana. Tubuhnya yang putih mulus laksana pualam
bergerak dengan tangkas di dalam air, dan rambutnya tergerai ke wajah dan
bahunya, yang membuatnya tampak sangat cantik. Sepertinya ia sudah pernah
melihat gadis ini sebelumnya, entah kapan dan dimana. Ketika gadis itu keluar
sungai dan mengenakan pakaian pria—yang mengejutkan, pakaian pria—Khusrau
memalingkan wajahnya karena malu telah melihat tubuh gadis itu.
Mendengar ringikan kuda, Khusrau
berbalik, dan gadis itu sudah hilang secepat hembusan angin. Ia mengecek
sekeliling dan tidak menemukan tanda keberadaan gadis tersebut. “kuda apa yang
bisa lari sekencang ini?” tanyanya dalam hati.
Jarakanya dengan ibukota Armenia
masih bermil-mil jauhnya ketika ia melihat seorang penunggang kuda dari
kejauhan. Ternyata itu Syapur. Dengan gembira Khusrau memberi salam padanya dan
menceritakan semua yang terjadi ketika kepergiannya. Dan sekarang ia ingin
meminta suaka pada Mahin. Sebaliknya, Syapur mengatakan bahwa Syirin sedang
menuju Persia untuk bertemu dengannya. Akhirnya Khusrau menyadari bahwa gadis
yang ia lihat di sungai adalah Syirin, pujaan hatinya.
Namun, sayang, Khusrau tidak bisa
kembali sekarang. Ia sudah mendapat kemarahan ayahnya. Tanpa dukungan ayahnya,
hidupnya terancam oleh orang-orang istana yang oportunis. Ia memang sudah
mencurigai beberapa orang yang berhasrat merebut tahta kerajaan. Namun
kurangnya bukti yang bisa ditunjukan pada sang ayah membuatnya diam saja.
Akhirnya ia teruskan perjalanan ke Armenia.
Ketika Syirin tiba di Mada’in, ia
tahu bahwa sang Pangeran telah kabur. Ia bingung harus bagaimana. Ia menyesal
karena sudah sampai ditujuan tanpa hasil tapi takut kembali ke Armenia karena
sudah pergi tanpa izin bibinya. Setelah diberitahu soal identitas dan tujuan
kedatangan Syirin ke Persia, raja hurmuz pun memperlakukannya dengan sangat
baik. Bahkan raja membangunkan rumah besar di tanah milik Khusrau dan
mengangkat dayang-dayang untuk menemani Syirin selama tinggal di Persia. Syirin
pun tinggal bersama dayang dan rumahnya yang baru dengan hati kesepian.
Di Armenia, Mahin menyambut Khusrau
dan Syapur dengan hangat. Mereka tinggal di vila istana. Karena yakin bahwa
Syirin tidak akan kembali sendiri, ia mengutus Syapur untuk menjemput kembali
Syirin. Akan tetapi, surat nasib menyodorkan permainan baru bagi dua kekasih
malang ini. Belum lewat sehari kepergian Syapur, Khusrau mendapat perintah
kembali ke Persia untuk segera naik tahta menggantikan ayahnya yang baru saja
meninggal. Khusrau berangkat ke Persia.
bersambung...
*)cerita ini di kutip dari buku; Layla & Majnun, karangan Mojdeh Bayat & Muhammad Ali Jamnia, penerbit lentera.
LIHAT: Pangeran Persia dan Putri Armenia (2)
Pangeran Persia dan Putri Armenia (3)
LIHAT: Pangeran Persia dan Putri Armenia (2)
Pangeran Persia dan Putri Armenia (3)
No comments:
Post a Comment