Teringat sebuah obrolan sore di sebuah warung kopi. Bersama saudara
di persimpangan stasiun Pasar Minggu.
Kami duduk dan berbincang perihal permasalahan keluarga
besar tanpa tendensi. Namun suasana berubah ketika seorang di sebelah kami
bertanya pada kawannya lewat telpon, “Le, ikut demo 4 November ra? Kapan sampai?
Kabar-kabari yo le wes di stasiun.”
Aku dan dia tahu, kami beda kubu. Bukan kubu jokowi dan
prabowo, tapi lebih besar dari itu. Ia bersarung aku celana jeans. Dia berbaju
takwa putih aku kemeja flanel. Rambutnya rapih cepak ditutup peci putih aku
gondrong bentar lagi bisa diikat buntut kuda. Itu adalah pelabelan berdasar
penampilan. Bukan contoh yang layak ditiru, tapi sengaja saya pakai untuk
menjelaskan sesuatu tanpa perlu eksplisit. Karena saya tahu hampir seluruh
rakyat kita akrab dengan labeling ini.
Singkat cerita, dia tahu aku akan di jakarta sampai 7
November, lantas bertanya, “Mat, ente ikut demo nanti?”
“Gak jal,” kuseruput kopi dengan jawaban seperlunya. Sejak aku
mendengar percakapan pria tadi, hati sudah malas dan tak nyaman. Tak ingin isu
perbedaan pandangan ini merusak keharmonisan kami sore itu. Tidak merusak sih,
mencanggungkan suasana.
“Hahaha, kenape mat?”
“Panas jal. Jauh juga dari depok.” Masih kujawab sesingkat
mungkin. Dan aku memang selalu nginap di depok.
Ia terkekeh. “Jadi lebih penting adem daripada bela agama
allah ye?” masih diburu aku dengan pertanyaan. Shit.
Untuk menghargai ‘sarkasme’nya aku tertawa. “Manusiawi jal,
gue bukan nabi yang diikutin awan.”
“Yeyeye, moga yang nista agama jadinya di penjara deh biar
jakarta lebi adem.” Jawabnya tanpa pertanyaan.
“Amin.” Jawabku lega. Kami seruput kopi bersama.
“Jadi ente sepakat ahok nista agama?” Aduuuuh, pake nanya
lagi nih si sempak.
“Oya jal!” kujawab dengan nada tinggi namun gestur tetap
cool. Supaya keliatan lebih meyakinkan meski aku masih heran dengan jawaban
sendiri.
“Yaudedeh, kenape gaikut demo? Masa panas doang ciut?” yap,
pertanyaan lagi yang bikin gue hilang kendali. Lets do this man.
“Gue iyain ahok gapunya ahlak mulutnya. Bener. Dan kalo
emang indonesia sebagai negara hukum punya kebijakan tentang hal begini gue
dukung total. Gue dukung sepenuh tindakan ahok diproses hukum setelah penistaan
lain yang lebih besar kelar diurus.”
“Lah ini alquran, kurang besar apa?” dipotong gue.
“Tunggu dulu! Gue belum kelar. Gue melihat penistaan agama
islam dimana-mana. Hal yang bikin gue muak dan hampir bikin apatis sama kondisi
manusia pada umumnya. Pengabaian pengungsi sampang, perusakan citra kasih
sayang nabi oleh muslim yang orasi dan hujat sana-sini, pencitraan keagamaan
oleh politikus yang kampanye, macem-macem! Banyak hal jal yang patut difokusin
umat muslim dalam konteks membela agama ketimbang sekedar menuntut maaf orang
yang seenak kentang ngutip quran kite. Pas uda minta maaf, masih dituntut untuk
dipenjara. Astaga, gue sekarang malah ngeliat demo itu juga penistaan agama
islam.”
“Weet... ati-ati kalo ngomong mat.”
“Lo ati-ati kalo mau ikut demo. Islam, gak, muslim yang
katanya diwakili fpi dan konconya jadi kelihatan kekanak-kanakan. Kritik merendahkan
dimana-mana. Jangan bilang kalo ini rintangan kebenaran. Karena kebenaran
ketika ditinjau dari segala aspek tetap benar, tidak menimbulkan pertentangan
kecuali dari musuhnya. Malah sangat mungkin musuhnya mengakui kebenaran itu dan
dikendalikan nafsu ketika melawannya. Soal ahok, penistaan agama, sangat
kompleks dan sarat agenda politik. Dan banyak kiyai-ulama top yang mengatakan
demo ini terlalu dibesarkan juga tak perlu. Mereka sadar kalau perjuangan islam
sekarang punya prioritas. Dibaca dulu situasi indonesia begimana. Apa ancaman
jangka pendek dan panjang. Apa aja efeknya, dan sebagainya. Seandainya islam
sudah bener-bener bersinar di indonesia, sampe dunia gak lagi merujuk islam
kepada isis dan kekacauan timur tengah tapi ke keharmonisan negara kita
tercinta ini, baru demo deh tuh yang sembarangan ngutip alquran tanpa ilmu. Ketua
NU sendiri juga ngakuin kok kalo ahok bicara diluar koridornya. Udahlah, besok
pasti sudah jakarta makin panas, mau ahok dipenjara atogak.” Gue sampe ceramah
sambil merengut.
“Kenape?” dia terlihat sudah memaklumi perbedaan kami.
“Sekarang mendung. Si otong baju pramukanya baru dicuci emak
dan besok harus kering. Udah pasti si emak doa! Doa ibu neh!” gue bicara kaya orang marah
sambil angkat satu tangan ke udara.
Sejauh Beirut tetap paling enak itu Iwan Fals
Kamis, 3 November
2016
Foto: @aikecil
No comments:
Post a Comment