Matahari cukup lelah untuk terus tampil di atas manusia.
Kali ini ia panggil awan untuk menggantikan pentasnya sementara. Sampai
tenaganya pulih kembali.
Aku adalah anak yang tidak berbeda dengan yang lainnya. Kami
lahir dari rahim seoragn ibu. Kami memiliki keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, dan saudara. Mungkin hanya perbedaan waktu yang membuat kami berbeda. Ada
di antara mereka yang tidak memiliki banyak waktu dengan orang tuanya. Memang,
manusia serba terbatas. Akan selalu terikat dan tak bisa menghindar titik
pasti.
Aku tidak berbeda dengan yang lain. Secara fisik kita sama.
Makan dengan tangan. Mengunyah dan berbicara dengan mulut. Berlari, bermain,
tidur, dan segala aktifitas yang kita lakukan sama. Hanya saja ada sebuah
perbedaan yang sangat gamblang diantara kami. Entah mereka menyadari atau
tidak, tapi bagiku ini sangat jelas dan penting. Bagaimana mungkin satu-satunya
sifat yang menjadikan mereka berbeda dengan hewan dan makhluk lainnya mereka
abaikan?
Kemanusiaan adalah pilihan. Semua orang cukup beruntung
dengan anugrah menjadi manusia. Tapi tidak semua orang berpikir untuk menjaga
kemanusiaanya. Padahal kemanusiaan adalah dinding nyata yang memisahkan antara
hewan dan ‘manusia’ yang sesungguhnya. Entahlah, aku berharap mereka dapat
menciptakan alasan yang rasional ketika kutanya perihal tersebut.
Kita mulai ceritanya:
Hari cukup cerah untuk memulai hari. siang ini ada sebuah
janjian makan siang antara aku, dia, dan mereka.
Kami adalah sahabat sejak kecil. Semua jenjang pendidikan
yang menjadi standar negara kami lewati bersama dengan penuh kesenangan. Sampai
datang hari dimana kami harus memulai tingkat yang baru. Yang mau tidak mau
memisahkan ‘kelas’ kami. Pemilihan jurusan kuliah. Namun kami sepakat untuk tetap
berada di universitas yang sama meskipun berada di kelas yang berbeda.
Sebenarnya perasaan ini sudah lama kurasakan. Sejak awal
menginjak bangku kelas sepuluh kalau tidak salah. Kami adalah berlima, dua
diantaranya adalah wanita. Setiap kali kami bertemu selalu kurasakan degup
jantung yang begitu kencang yang membuatku salah tingkah! Awalnya aku mengira
ada yang tidak beres dengan diriku. Namun seiring berjalannya waktu dan
bertambahnya pengetahuanku, aku sadar. Inilah yang biasa disebut orang sebagai
cinta pertama.
“Ahh, betapa menyenangkannya rasa cinta ini”, begitu
pikirku. Setiap kali pertemuan kami lakukan, semua letih dan pikiran sebelumnya
sirna seketika. Seakan terlahir kembali. Setiap kali wajahnya nan cantik
terbayang di benakku, sebuah api menyala dan makin besar di hatiku. Membakar
semangat untuk segala aktifitas. Seakan tidak ada yang tak mungkin. Dan hal ini
terus berjalan sampai sekarang. Di hari kamis yang cerah ini. Empat tahun sejak
pertama cinta mengenalkan dirinya padaku. Sebelumnya aku terlalu malu (baca;
pengecut) untuk mengungkapkan rasa cintaku padanya. Membuat pertanyaan yang
menjadi olok-olokan teman sekolah menghatui pikiranku; aku laki-laki atau
bukan. Ok, setelah melakukan persiapan batin aku berniat mengambil langkah
berani. Tidak hanya menyatakan cintaku tapi akan ku genggam tangannya dan ku
gandeng dia ke tingkat yang lebih serius. Akan ku lamar dia. Siang ini di hadapan sahabat-sahabat setia kami.
Dalam percakapan kami di telpon, dia bilang akan
menyampaikan kabar gembira. Entah apa itu, aku tidak cukup fokus untuk
memikirkannya. Terlalu larut dalam rasa tegang dan senang akan apa yang akan ku
hadapi sebentar lagi. Ku kendarai SUV hitam menuju tempat perjanjian.
Hari ini (kamis), jam 1 siang, di salah satu rumah makan ternama di kota.
Saat sampai, area parkir dipenuhi mobil-mobil mewah. Cukup
lama sampai aku menemukan satu space kosong. Selama pencarain kulihat
mobil teman-temanku sudah terparkir rapih disana. Mereka sampai duluan.
Aku memasuki pintu utama. Kulihat setiap meja penuh oleh
pengunjung. Aku menyusuri setiap meja sampai akhirnya ketemukan empat wajah
yang tak asing di pojok ruangan. Dengan semangat langsung ku samperi
mereka.
Setelah salam hangat dan sangat menyenangkan dari setiap
sahabatku, aku langsung mengambil tempat duduk. Tapi ada yang aneh, kupikir
hanya akan ada lima bangku di meja ini. Aku menemukan satu wajah asing diantara
kami, duduk debelah ‘dia’!
Dengan berani kutanya identitasnya. Semua diam sambil saling
tatap dan menyembunyikan senyum jailnya. Tidak ada yang menjawab. Dengan tenang
kutanya kembali. dia yang menjawab. dia bertunangan dengan lelaki ini. Dengan
tidak percaya aku diam. Dengan tawa kecewa kutinggalkan mereka. Setaip mata
memandang keheranan. Berusaha menahanku untuk pergi. Dengan pertanya ‘kenapa?’
mereka menahanku. Ku lepaskan pegangan mereka tanpa sepatah kata pun keluar
dari mulit ini. Kutinggalkan mereka tanpa sedikitpun mengenal isi hatiku.
**
Tadinya aku percaya cinta. Sejak kejadian 4 tahun lalu, yang
berujung pada cedera hati yang luar biasa kemarin. Sejak kejadian di rumah
makan, aku lebih banyak diam, merenung.
Aku pikir cinta ini takdir. Tidak akan meleset sedikitpun
meskipun kutunda belasan maupun puluhan tahun. Tidak kusangaka cinta akan
mengkhianatiku seperti ini. Tidak, bukan. Bukan cinta yang mengkhianatiku. Malahan
dia tetap setia berada di hatiku meskipun sakit yang sangat jadi konsekuensi.
Tapi tempat aku menaruhnyalah yang salah. Sial, aku tertipu. Kupikir dengan
setiap detik kebersamaan kami, dan kebaikannya padaku dia menaruh rasa yang
sama padaku.
Aku mulai dan terus berpikir. Banyaknya berdiam diri
membuatku berteman cukup baik dengan ‘pikiran’ yang sebelumnya aku campakkan. Selama
ini keinginan dan nafsu selalu jadi haluanku. Dan sekarang, kedua hal yang
selalu mengekangku pergi begitu saja. Seakan kami tidak pernah bertemu dan
berhubungan. Semua keinginan hilang seketika. Dan berpikir justru menemaniku
setiap saat.
Baru kusadari bahwa ternyata berpikir adalah hal yang
menyenangkan. Bukan hanya karena keberadaanya yang selalu ada dikala aku
kesepian, tapi lebih kepada pertunjukan yang ia tawarkan padaku. Ia tunjukan
padaku segala hal dari sisi yang selama ini tidak kusadari. Yang paling nyata
dan jelas adalah disetiap tawa dan kesenangan kami, selalu ada orang-orang yang
dengan baju lusuh dan kesabarannya berharap seteguk air dari manusia-manusi
congkak yang bahkan tidak menengok kearahnya! Berpikir juga menunjukkan padaku
bahwa lembaran yang diproduksi, dicari, diperjuangkan, dan dihabiskan oleh
manusia sendiri adalah barang menjijikan yang tidak memberikan kebahagiaan yang
berarti sama sekali. Bayangkan, seorang yang tampan, pintar, dengan istri dan
anak yang cantik harus mengabdikan dirinya untuk sebuah kertas yang dengan
mudah terbakar dan hilang tak berbekas. Memangnya tidak ada hal yang lebih
bermanfaat dan terhormat yang bisa ia lakukan?
Berpikir juga membuatku menyadari satu hal yang sangat
penting. Kusaksikan dan kualami berbagai hal yang menjatuhkan diri kami ke
derajat setingkat hewan. Berpikir adalah salah hal yang membedakan kami
dengan hewan. Tapi begitu banyak dari kami yang meninggalkannya. Mejadikan kami
tidak lebih dari keledai yang bisa bicara. Dengan congkaknya, kami menganggap
bahwa ilmu pengetahuan yang diciptakan manusia-manusia dulu sudah cukup buat
kami. “Tinggal kita nikamti buah dari pohon pengetahuan mereka. Buat apa
repot-repot mikir lagi? Segalanya sudah gampang dan enak kok”. Padahal, tanpa
perawatan yang baik, pohon akan jadi jelek dan rusak, dan akhirnya mati. Ilmu
itu harus dirawat. Dengan terus menginvestasikannya di pentas pemikiran, dan
terus menambah lembar pada rak perpustakaan.
Lalu kupikirkan cinta. Kupikir dia hanya sekedar wadah yang
salah untuk cintaku. Tapi setelah menyadari semua kesamaan kami, dia dan
siapapun di dunia rupanya sama. Denganku pun sama. Semuanya bisa melakukan hal yang sama dengannya. Lalu
apa? Apa gunanya cinta? Setelah diskusi lama dengan pikiran kami berkesimpulan,
bahwa agar bermanfaat, cinta yang tumbuh entah dari mana harus ditaruh di
tempat yang sempurna. Wadah yang dengan kualitasnya, tidak akan ada untuk kedua
kalinya dan memang tidak perlu. Karena keberadaanya tidak akan pernah hilang.
Aku bertanya lagi, memangnya ada yang seperti itu? Apa yang sempurna? Dimana
aku bisa menemukannya? Bagaimana aku bisa mencapainya? Cintaku sudah begitu
haus akan kepuasan dan ketenangan. Sepintas pikiran berbisik di benakku, dia
bilang; “kau bisa menemukannya dalam dirimu sendiri. Cukup cermati sekitar dan
siapa dirimu. Dialah yang pada awalnya meniupkanmu pada perut ibumu. Dan sedikit bocoran, dialah yang
menanam cinta dalam hatimu yang membuat hidupmu lebih berarti. Agar cinta-Nya
mendapat balasan yang setimpal. Dialah Dia. Dengan “D” berhuruf besar. Yang baru
akan kau sadari, setelah sekian lama kau bersama dengan-Nya.”
Diselesaikan dengan keterbatasan dunia pikiranku,
memalukan.
Tidak bagus, tapi apakah kau tega mengatakannya jelek?
Calon Pecinta
Bangil, 21 Januari 2014
1 comment:
mat ini demi apa lo pernah hareman ?
Post a Comment