Ketika dipisahkan nama besar keluarga, Qais mengambil jalan Majnun dan Layla ingin jadi perawan tua. Meski dihina dan jadi lelucon, syair Majnun tetap mengudara dan terus dihirup Layla yang abaikan sarapannya. Ketika keluarga tak lagi jadi selimut yang lembut, Majnun tanggalkan pakaian dunia dan Layla pun menolak sentuhan suami yang menyayanginya. Ketika manusia tak lebih mengerti Majnun ketimbang para binatang, Layla pun menenggak rasa sakit dalam sangkarnya. Ketika kabar tak kunjung datang, Majnun pun tahu bahwa Layla sudah matang dibuat Sang Cinta. Ketika Majnun membawa sisa napas terakhirnya, hangat tubuh Layla sudah meninggalkan nisannya. Kini, dua telah menjadi Satu dengan Satu-Satunya restu di alam yang hanya Satu.
Dahulu di zaman Saddam bertahta, tangan peziarah adalah tiket yang harus dibayarkan demi hirup aroma makam yang suci. Seorang ibu yang terlihat lemah oleh rindu, datang menghadap tentara penjagal para tangan. "Kau sudah tahu aturannya, untuk masuk kau harus serahkan tanganmu!", "Ya," jawab sang ibu. "Kalau begitu, ulurkan tangan kananmu!" ibu diam. "Mana tanganmu?!" masih diam. Sinar matahari menyaksikan jubah yang tersingkap, memperlihatkan lengan kanan tanpa tangan. "Bagian kananku sudah kuserahkan tahun lalu," ia ulurkan tangan kirinya dan melangkah masuk. Kecupan hangat berbekas di jeruji makam Sang Pangeran. Mengundang bidadari panaskan air matanya sambil menyusun pondasi kebangkitan. Dengan senyum yang tersirat Sang Ibu melangkah pulang dengan bibit kemenangan. "Tidak kulihat selain keindahan," gumamnya.
Di masa romawi dan persia masih berdiri dengan gagahnya, Imam yang bijak diseru bangkitkan sepetak haknya. "Anda punya ribuan pengikut yang siap angkat senjata dan nyawa demi seruanmu, wahai Imam," kata seorang pengikutnya. Hanya dengan "Duduklah," Imam menjawab. Seorang budak Imam pun datang. Tanpa salam dan kalam, Imam berkata padanya, "Hai kau pecinta, duduklah di perapian itu!" menunjuk sudut berbara menyala. Juga tak bersalam dan kalam, ia duduk dengan sigap di atas batu api. Mereka yang bersemangat bangkit demi hak Imam tecengang. "Hai kau sang penyeru apa yang jadi hakku, berikan aku lima saja, orang yang matanya hanya melihat Aku, mulutnya hanya mengucap Aku, zirahnya adalah restu-Ku, dan senjatanya hanya kecintaan pada-Ku, seperti dia yang melihat api bukan sebagai panas, tapi permadani tempat Aku menjamunya, maka singgasana dunia yang angkuh itu akan ku tumbangkan!". Dijawabnya, "Takku temukan seorangpun sepertinya,". Air mata Sang Imam pun basahi senyumnya.
Ingat, piagam pengorbanan hanya diberikan oleh mereka yang berdiri di luar lingkaran pengalaman. Hasrat menghukumi selalu memberi mereka rasa tanggung jawab untuk menobatkan gelar "berkorban". Dari lingkaran ketidak masuk akalan manusia berdasi, di mana kita berdiri? Haruskah kita me-label-i? Atau lebih memilih mengalami? Rasakan sendiri.
"Cinta adalah penyakit, yang si pengidap meminta ditambah penyakitnya," Sang Imam.
Imajinasiku sendiri
20 sepuluh 2000 15