Monday, 31 July 2023

Asam Garam Yahudi Lebanon

”Bagi banyak orang, ‘Yahudi Lebanon’ tak lebih dari sebuah konsep. Namun nyatanya, Yahudi pernah hidup berdampingan dengan populasi Kristen dan Muslim—mereka bahkan berbagi kursi kekuasaan di parlemen. Beirut, Tripoli, Saida, dan Hasbaya adalah kota yang dulu mereka sebut rumah. Natal dan Idul Fitri adalah momen yang mereka rayakan bersama tetangganya.” —Nadine Mazloum, StepFeed.

Boleh dikatakan bangsa Yahudi konsisten hijrah dari ribuan tahun lalu. Kota ke kota, kerajaan ke kerajaan, negara ke negara. Hingga saat ini, tercatat ada 14 juta diaspora Yahudi di dunia—tercecer di sana-sini. Satu-dua cerita juga mengabarkan keberadaan mereka di Indonesia. Tapi mungkin sulit mendengarnya dengan suka cita di negara kita. Mengingat sudah 70 tahunan isu Yahudi agak sensitif bagi komunitas muslim kebanyakan—sejak berdirinya Israel.

Jika ditanya dari mana asal mereka, paling tidak menurut sejarah, tentu saja sekitaran Timur Tengah. Sebagai turunan Yakub atau Jacob atau Israel, setidaknya kita tahu ia pernah tinggal di Kanaan atau Palestina masa kini. Kisah-kisah mereka selama masa kenabian Muhammad saw juga tidak sedikit. Maka mereka pernah ada di bilangan Madinah.

Lebanon-pun punya kesaksiannya sendiri. Sebuah bangunan tua di kota Saida—yang kini jadi rumah bagi imigran Suriah dan Palestina—dulunya berfungsi sebagai sinagog. Termasuk sinagog tertua di dunia, yang dibangun tahun 833 M. Sinagog ini berdiri di atas reruntuhan kuil yang hancur tahun 66 sebelum masehi. Konon, Jesus pernah berceramah di sana. Jadi setidaknya kita bisa berasumsi, bahwa yahudi sudah ada di Lebanon sejauh ingatan sejarah kita tentang bangsa-nya Rostchild ini.

Namun berbeda dengan negara Arab lainnya, kita masih bisa merayakan perbedaan bersama yahudi di Lebanon. Lepas tumbangnya dinasti Ottoman, Perancis mendapat jatah Lebanon untuk diduduki. Di bawah mandatnya, Lebanon yang masih seperti kumpulan komunitas agama ingin berdaulat. Maka untuk menghindari konflik politik, Lebanon di bawah kekuasaan Perancis untuk pertama kali melakukan sensus penduduk. Sesuai hasilnya, Kristen Maronit mendapat jatah kursi presiden sebagai mayoritas utama. Kemudian Muslim Sunni dapat jatah perdana menteri, dan Muslim Syiah juru bicara parlemen. Sisanya, ada 15 sekte lagi yang terhitung sebagai bagian dari Lebanon mendapat jatah kursi di parlemen dengan jumlah berdasarkan kuantitas penganutnya. Dari situ, dikhususkan satu kursi perwakilan untuk tiga sekte ter-sedikit di Lebanon, salah satunya, sekte yahudi.

Lima tahun setelah Lebanon merdeka dari Perancis, Israel tercipta (1948). Kemarahan negara-bangsa Arab merasuki penduduk Yahudinya dengan ketakutan dan ancaman. Bangsa Yahudi untuk kesekian kalinya hijrah. Tujuan utama terpecah dua: Israel dan Eropa-Amerika. Namun ada tujuan alternatif: Lebanon. Sejak berdirinya Israel, Lebanon adalah satu-satunya negara Arab yang tercatat mengalami kenaikan populasi Yahudi di dalam perbatasannya. Buku The Jews of Beirut mencatat pada tahun 1950, kurang lebih 10.000 orang yahudi masuk ke Lebanon dari Suriah, Iraq, dan sekitarnya. Dengan menjadi satu-satunnya negara Arab yang dipimpin Kristen (Maronit), juga kenyataan bahwa dominasi politiknya tak dipegang satu golongan—boleh dikatakan, epitome Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya—Lebanon jadi negara paling ramah yahudi di kawasan.

Beirut menampung paling banyak Yahudi pada masanya. Di samping rumah megah Perdana Menteri Saad Hariri ada kawasan yang dulu jadi pusatnya Yahudi—sebuah jalan bernama Wadi Abu Jamil. Di kawasan yang membelah pemukiman Kristen dan Muslim ini, pernah berdiri sekolah, pertokoan, juga sinagog Yahudi. Dalam film dokumenter BBC Arabic tahun 2006 berjudul Yahud Lubnani, Mokhtar Itani, penulis buku Our Beirut bercerita, “Mereka (Yahudi) dulu dianggap  bagian dari komunitas Arab Lebanon yang menganut agama Yahudi atau pengikut Musa. Sama seperti Muslim yang mengikuti Islam dan Muhammad, atau Kristen yang mengikuti Isa. Mereka bagian dari penduduk Beirut yang jadi orang-orang terdekat kita. Bahkan, mereka banyak memiliki posisi penting. Ada seorang Rabbi namanya Solomon. Dia adalah ahli sunnat paling terkenal di kalangan Muslim saat itu.” Itani juga mengingat tentang Dokter Nassim Chams, seorang Yahudi yang diberi julukan “Penyembuh Kaum Miskin” (The Healer of The Poor). Ia mendapat tempat khusus di hati masyarakat Beirut atas dedikasinya melayani orang sakit tanpa memungut biaya apapun, bagi siapapun—terlepas agama, ras, dan kebangsaannya.

Secara politik, keberagaman agama yang membangun pemerintahan Lebanon meniscayakan perlindungan setiap sekte yang terlibat dalam kekuasaan. Hal ini juga tertulis jelas di konstitusi yang tersedia di situs resmi kepresidenan: C) Lebanon adalah republik parlementer demokratis yang menghormati kebebasan publik, khususnya kebebasan pendapat dan kepercayaan, dan menjunjung keadilan sosial serta kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warganegaranya tanpa diskriminasi (pembedaan).

Gelombang migrasi pertama yang membuat Lebanon sepi Yahudi adalah perang Arab-Israel tahun 1967.  Perang ini mulai mengaburkan pandangan masyarakat Lebanon atas perbedaan Yahudi dan Zionis. Di tambah merangsek masuknya pengungsi dan militan Palestina ke Beirut. Pada satu masa, penduduk Yahudi mau tak mau membagi atapnya tak hanya dengan sesama warga Lebanonnya, tapi juga Palestina. Sinagog mereka bahkan sempat menjadi pengungsian Palestina ketika perang berkecamuk. Banyak orang bersaksi bahwa terjadi penculikan sampai pembunuhan warga Yahudi oleh militan Palestina. Ketika di saat bersamaan juga banyak yang bercerita bahwa Yaser Arafat, sempat jadi pahlawan Yahudi karena menggunakan pengaruhnya menyelamatkan beberapa keluarga Yahudi dari kesalahpahaman. Namun pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa ketakutan dan ketidak-aman-an lebih nyata dari kedamaiannya. Itu sebabnya pada akhir 1975, tercatat kurang dari 1.000 Yahudi bermukim di Lebanon. Di kemudian hari, Perang Sipil dan perang dengan Israel tahun 1982 membuat makin banyak yang meninggalkan Lebanon—yang jumlahnya kini masih diperdebatkan antara 200 sampai 40 orang.

Orientasi Zionis

Seniman New York asal Lebanon, Rola Khayyat, membuat dokumenter berjudul From Brooklyn to Beirut, yang menceritakan kisah-kisah diaspora Yahudi di negarannya. Dalam wawancara dengan StepFeed, menurutnya komunitas Yahudi Lebanon di Brooklyn cukup mencolok ketimbang minoritas lain di sekitarnya. “Mereka selalu menolak membaur sepenuhnya. Cukup keras kepala memelihara identitas, budaya, dan nilai-nilai Timur Tengah yang mereka dapat di Lebanon.”

Ketika ditanya soal bagaimana mereka melihat hubunganya dengan Lebanon, salah satu narasumber berkata, “Lebanon adalah sebuah kebudayaan. Yahudi adalah sebuah agama. Tak ada kontradiksi bagi keduanya.” Rola juga mengatakan semua narasumbernya berbicara bahasa Arab sefasih dirinya.

Di permulaan abad 20, komunitas Yahudi Lebanon kurang aktif dalam politik dan tak melibatkan diri di perseteruan antara komunitas agama lainnya. Secara umum, komunitas ini cenderung mendukung Nasionalisme Lebanon, dan menempel pada penguasa Perancis. Ketika di saat bersamaan, Perancis pada masa itu tidak simpatik pada ide berdirinya negara Yahudi yang dicanangkan rivalnya, Kerajaan Inggris. Komunitas ini juga apatis terhadap ide tersebut. Memang ada segelintir pemuka komunitasnya yang antusias menyuarakan Zionisme, dengan beberapa dukungan di sana-sini. Sekolah Yahudi terbesar di Beirut, yang didirikan Alliance Israélite Universelle asal Paris juga dengan aktif bicara soal Zionisme. Namun catatan Jewish Agency, organisasi internasional yang menghubungkan Yahudi di dunia menyesali kurangnya “gairah nasional” dari sejawatnya di Lebanon. Lebanon juga tidak mengirim delegasi ke World Zionist Congress.

Dilema Maghen Abraham

Selesai dibangun tahun 1925, Sinagog Maghen Abraham jadi semacam masjid agung bagi penganut Yahudi di Beirut dan sekitarnya. Terletak di Wadi Abu Jamil, sinagog ini terseret badai perang sipil tahun 1975. Dan ketika Israel memburu Palestine Liberation Organization (PLO) sampai ke Beirut, ironisnya, bombardir udara itu juga menghancurkan Maghen Abraham yang sudah kosong waktu itu. Pasalnya, ada kabar bahwa PLO memelindungi kawasan tersebut.

Tahun 2009, gagasan untuk merenovasi Maghen Abraham jadi perbincangan hangat. Isaac Arazi, perwakilan komunitas Yahudi setempat mulai menggalang dana dari diaspora Yahudi Lebanon di Eropa-Amerika. Yang menarik, dukungan datang dari hampir seluruh komponen politik—bahkan Hizbullah sebagai musuh bebuyutan Israel mengeluarkan press release mengenai hal ini. “Ini (Maghen Abraham) adalah tempat ibadaha, dan kami menyambut pemugarannya,” kata Sekjen Hizbullah, Hasan Nasrallah.

Bloomberg melansir Perdana Menteri Fouad Siniora mengatakan, “Kami menghormati agama Yahudi seperti menghormati agama Kristen. Satu-satunya masalah kami adalah dengan Israel.”

Namun sepuluh tahun pasca renovasi, lampu Maghen Abraham belum juga dinyalakan. Pagarnya terkunci dengan penjagaan ketat militer di sekitarnya. Seorang muslim, Bassam al-Hout, pengacara komunitas Yahudi Lebanon mengatakan hanya ada dua rabbi di Lebanon dan membantah adanya rencana Maghen Abraham beroperasi kembali.

The Israelite Community—begitu dokumen negara menyebutnya, nama yang sudah bertahun-tahun dilobi untuk diganti sebagai upaya menjaraki diri mereka dengan negara Israel—kini hidup dalam bayang-bayang sejarah Lebanon. Sulitnya memastikan keberadaan mereka, dan mundurnya komunitas ini dari aktifitas politik seperti parlemen membuat ingatan atasnya perlahan pudar. Sejak awal berdiri Israel mendeklarasikan diri sebagai Negara Yahudi. Dan fakta ini membuat makin kaburnya batas pembeda antara penganut Yahudi dan luka yang disebabkan Israel pada penduduk Lebanon. Selain itu, kondisi politik dan keamanan yang belum stabil menghantui tak hanya komunitas Yahudi, namun seluruh komponen masyarakat. Sehingga aktifitas sekte yang cukup besar seperti eksis kembalinya penganut Yahudi berpotensi meledakkan tensi yang lama dijaga. Dan pernyataan resmi di atas kertas tak lebih dari sekedar pernyataan—tak berpengaruh di jalanan.

Kini media dan masyarakat Lebanon mulai menggunakan kalimat-kalimat nostalgia ketika berbicara soal tetangga Yahudinya. “Alain Abadi biasa duduk di teras, memainkan gitarnya dan bernyanyi. Dia akrab dengan tetangganya, dan sangat sembrono,” kata Berthe Mamo, mantan penduduk Wadi Abu Jamil, mengenang tetangga Yahudinya.

“Apa aku berharap kembali ke Beirut? Tentu saja! Di Facebook, aku selalu bicara soal Lebanon. Aku masih punya teman di sana dan tak bisa melupakan mereka. Aku hidup 35 tahun di sana!” kata Alain Abadi, yang kini tinggal di Tel Aviv mengikuti kemauan ibunya, ketika diwawancara BBC.

‎23-27 ‎April ‎2019

Berkenalan Dengan Druze

Sebagai salah satu kelompok agama yang resmi diakui negara, Druze mendapat jatah delapan kursi dari total 128 kursi di parlemen. Juga dengan perkiraan jumlah penganut 5,2 persen total penduduk Lebanon, Kepala Staff Umum (Chief of General Staff—kepemimpinan militer) harus dari komunitas Druze.

Druze adalah gerakan keagamaan yang lahir di Mesir pada masa Kekhalifahan Mamluk (Fatimiyah) awal abad ke-11. Ahli mistik Ismaili (denominasi Syiah), Hamzah bin Ali dan Muhammad Ad-Darazi datang dari Persia dan memulai sebuah majlis eksklusif untuk kalangan bangsawan dan intelektual dengan dukungan Khalifah Al-Hakim. Majlis ini terbentuk dari sebuah ambisi menyatukan seluruh agama dan manusia dalam sebuah ajaran tauhid yang paripurna (unitarian, muwahhid). Tiga nilai utama yang jadi fokus adalah monoteisme (tauhid), tunduk pada Tuhan, dan keadilan sosial.

Pada masa ini, terjadi perpecahan antara Hamzah dan Darazi. Pemikiran Darazi berkembang dari misi universal sampai beranggapan bahwa Tuhan telah memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk manusia, khususnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannnya (termasuk Khalifah Al-Hakim), serta dirinya adalah “Pedang Keimanan”. Hamzah marah, dan menulis pernyataan bahwa Darazi telah sesat, dan menolak penggunaan pedang untuk menyebarkan agama.

Tahun 1016, Darazi membuka dan mengenalkan pemikirannya pada masyarakat. Namun gerakan Darazi ditolak dan menyulut protes keras dari berbagai kalangan di Kairo. Darazi kemudian diusir dan dilarang berceramah selama satu tahun. Tahun 1018, Darazi dibunuh karena ajarannya, namun ada sumber yang mengatakan bahwa ia dieksekusi oleh khalifah.

Setahun setelah protes, giliran Hamzah yang mendakwahkan doktrinnya. Kini gerakan ini mendapat dukungan penuh dari khalifah yang langsung mengeluarkan dekrit kebebasan beragama. Dengan dukungan ini, gerakan Hamzah (seterusnya akan disebut komunitas Druze) tersebar ke seantero negeri.

Beberapa tahun kemudian, Al-Hakim menghilang dalam sebuah perjalanan dan dipercaya oleh komunitas Druze telah moksa bersama Hamzah dan tiga petinggi komunitas ke-haribaan-Nya. Namun ada dugaan bahwa ia dibunuh oleh kakak perempuannya, Sitt Al-Mulk. Anak Al-Hakim yang masih di bawah umur, Zahir menggantikan posisi ayahnya dan menjadikan Sitt sebagai walinya. Sementara kepemimpinan Druze dipegang orang yang telah ditunjuk Hamzah, Muqtana Bahauddin.

Komunitas Druze mengakui Zahir sebagai khalifah, dan memandang Hamzah sebagai Imam (pemegang otoritas agama Islam tertinggi yang meneruskan ajaran Nabi Muhammad). Tapi Zahir ingin komunitas Druze juga menerimanya sebagai Imam. Banyak mata-mata dan propagandis dari sisa pengikut Darazi lalu memasuki komunitas Druze dengan tujuan memecah dan menjatuhkan reputasi komunitas ini. Penolakan permintaan khalifah dan aksi spionase pengikut Darazi berujung pada baku hantam antara penguasa dan komunitas Druze. Yang paling parah terjadi di Antioch di mana 5.000 pemimpin Druze tewas di tangan militer. Persekusi ini berlangsung selama tujuh tahun, dan perlahan komunitas Druze menutupi indentitasnya. Mereka yang selamat kebanyakan berpusat di Lebanon Selatan dan Suriah.

Dua tahun pasca kematian Zahir (1036), komunitas Druze baru bisa bernapas kembali dan bergerak secara terbuka—karena khalifah yang baru punya hubungan erat dengan salah satu pemuka komunitas Druze. Lalu pada tahun 1043, Bahauddin mendeklarasikan ‘penutupan ajaran’. Setelah 27 tahun mengajak manusia pada ajaran monoteisnya, mereka melihat sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyatukan manusia. Maka Druze pun tak lagi mengajarkan pahamnya dan tak lagi menerima pengikut baru, pun keluarnya pengikut—yang sampai saat ini masih berlaku.

Saat ini di Lebanon, komunitas Druze berpusat di Mount Lebanon dan beberapa bagian Lebanon Selatan. Jumlahnya ditaksir sekitar 200.000 manusia. Tidak ada yang bisa menjadi Druze kecuali lahir dari dua orang tua Druze. Secara tradisi, komunitas ini melarang anggotanya menikah dengan komunitas luar.

Sesi ‘peribadatan’ mereka berlangsung sangat rahasia. Khusus untuk keturunan Druze yang mendeklarasikan penyerahan diri pada agama—dengan mengambil kelas khusus selama tiga bulan, dan membuktikan bahwa ia jauh dari ‘tujuh dosa besar’. Sesi rahasia ini berlangsung pada malam Jumat di hilwah (semacam masjid), di mana para kyai (mereka yang sudah menyerahkan dirinya pada agama) bergumul dengan kitab ajarannya yang bernama Al-Hikma.

Bagi Druze, reinkarnasi adalah bentuk dari keadilan Tuhan. Sebagai kesempatan kedua bagi jiwa (khususnya yang mati muda) untuk kembali ke dunia dan menyempurnakan dirinya sebelum benar-benar menyatu dengan Tuhan.

Meski mengamini beberapa dogma Kristiani, dan mengandung banyak pemikiran filsuf Yunani, sebagian besar sumber paham Druze masih berasal dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad (sebagaimana akarnya dari Islam Ismaili). Hanya saja, mereka berusaha memperluas cakupan firman dalam Alquran dengan melakukan tafsiran yang lebih universal—hal ini bisa dipahami dari upaya pencetusnya menyatukan beragam aliran keagamaan dalam kesepakatan ketuhanan yang satu. Sementara untuk kewajiban-kewajiban seperti solat, puasa, dan zakat mereka melihatnya sebagai aktifitas jiwa dan sosial ketimbang ritual simbolik. Akibatnya, banyak perdebatan di kalangan ulama Muslim soal status ke-muslim-an anggota Druze. Namun konstitusi Lebanon tetap memasukkan Druze dalam daftar pecahan Islam.

Komunitas Druze sendiri lebih senang menyebut dirinya “Muwahhiduun” (Para Monoteis) ketimbang Muslim. Sementara nama ‘Druze’ awal kali digunakan sejarawan dalam kaitan komunitas dengan Muhammad Darazi—yang dalam teks-teks komunitas Druze kini disebut seorang bidah dan sesat.

Druze menganggap dirinya sebagai evolusi dari pergerakan Yahudi, Kristen, kemudian Islam. Sebuah gerakan yang tak lain melayani keinginan Tuhan yang rindu pada dirinya sendiri. Dan peleburan batas-batas praktis antar ajaran dilihat sebagai konsekuensi logis dari mimpi menyatukan manusia di bawah payung ketuhanan Yang Maha Esa. Ritual tak boleh memisahkan satu jiwa dengan yang lainnya karena ia bukan tujuan tapi jalan. Melihat semua ini, tak heran ketika sejarawan Perancis, Gerard de Nerval menyebut Druze dengan nama: Islam Freemason.

13-‎23 ‎June ‎2019

Cinta Lokasi Para Militan

Ketika audisi, Atris tertawa sinis dan berkata berkata, “Baiklah, jika anda bersikeras ingin saya bermain peran, saya ikuti. Tapi jika akhirnya saya hajar habis mereka, jangan mengeluh.”

Atris adalah seorang pemuda dari Bab el-Tebbaneh, sebuah kawasan yang didominasi Muslim Sunni, di kota Tripoli, Lebanon Utara. Atris bersama puluhan pemuda lainnya mendapat tawaran untuk bermain peran dalam sebuah teater komedi gelap berjudul “Love and War on the Rooftop”, versi parodi dari legenda Romeo Juliet, 2011 silam.

Pentas drama ini diinisiasi oleh Lea Baroudi dan timnya—sebuah Lembaga Sosial Masyarakat di bidang perdamaian dan pembangunan bernama MARCH.

Pemuda lain yang dipaksa menjadi aktor adalah Ali. Ia berasal dari Jabal Mohsen—tetangga Bab el-Tebbaneh—yang didominasi Alawi. Ketika audisi, Ali menaruh pistolnya di meja juri dan berkata, “Ok, sekarang anda harus jelaskan apa yang sedang anda lakukan di sini sebab saya sama sekali tak terpikirkan bisa menjadi seorang aktor.” Lea yang saat itu ikut jadi juri pun tertawa dan membalas, “Saya pikir anda bisa.”

Bab el-Tebbaneh dan Jabal Mohsen sudah saling tembak sejak perang sipil di Lebanon puluhan tahun lalu. Konflik berlatar sekte ini belakangan makin panas sejak perang di Suriah. Pemuda seperti  Atris dan Ali sudah mengenal senjata sejak umur 15—bahkan lebih muda. Lupakan dulu soal sekolah dan memiliki rumah, Atris saja bisa dikatakan tak bernegara. Orang tuanya tak mampu mengurus administrasi kelahiran akibat kemiskinan—dan ia bukan satu-satunya. Jalan yang membelah dua kawasan ini (ironisnya) bernama “Syria Street”—adalah medan baku hantam yang paling akrab sebagai tempat mereka tumbuh.

Atris dan Ali—dua dari 100 pemuda yang ‘dipaksa’ mengikuti audisi—adalah juga veteran perang. Selain melawan tetangga sektenya, banyak dari mereka pernah ke Suriah baik bertarung bersama pemerintah maupun oposisi Suriah. Mereka kembali ke Lebanon karena satu dan lain hal. Namun jalan hidup sektarian yang keras sudah menjadi satu-satunya jalan hidup yang pernah mereka lalui—sampai MARCH datang menawarkan sebuah panggung.



image source: www.marchlebanon.org

“Semua pada awalnya berpartisipasi murni didorong rasa penasaran,” kata Lea di TEDxSciencesPo, Perancis. “Siapa sih orang-orang Beirut ini yang ingin orang sepertiku bermain peran?” tambahnya mengutip salah satu partisipan.

Menurut pengakuan Lea, tahap awal audisi adalah yang paling sulit. Terlambat dan harus disusul ke rumahnya bahkan secara harfiah ditarik dari tempat tidur, tensi antar partisipan yang masih sangat terasa—mengingat mereka sudah lahir bermusuhan, sampai pengecekan badan untuk mencegah masuknya senjata di pintu masuk. 16 aktor mantan-veteran yang lolos audisi lalu berlatih bersama selama tujuh bulan—dibimbing oleh beberapa profesional yang disewa MARCH. Setelah pentas yang dihadiri warga sekitar usai dan diabadikan dalam sebuah film dokumenter, efek positif mulai terasa dan muncul dorongan dari para aktor untuk tak hanya berdamai di atas paggung, namun dalam keseharian dan melibatkan lebih banyak orang lagi.

Kafe Budaya

Berawal dari bangunan terbengkalai yang penuh dengan lubang peluru tepat di atas Syria Street, MARCH bersama para veteran muda dari dua kawasan yang bermusuhan membangun sebuah kafe—yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat Lebanon secara keseluruhan. Namannya “Kahwetna: Cafe bi Kaffak” (Kopi kita: kafe di genggamanmu).



image source: www.marchlebanon.org

Kafe ini selain menyambungkan kedua kawasan yang lama bermusuhan, juga mempekerjakan pemuda dari keuda belah pihak. Para aktor drama dan pemuda lain menemukan ruang kreatif untuk menyalurkan minat dan bakat mereka. Dari kafe ini, para alumni pentas drama yang lalu bersama MARCH mewadahi aktifitias berkarya dari mulai melukis, dansa, band sampai pembuatan video klipnya. Turnamen sepak bola juga pernah diadakan oleh Kahwetna, bahkan sampai menarik turun Lebanese Army (Angkatan Bersenjata Lebanon)—dalam upaya memperkecil jurang pemisah di antara mereka.

Sering menjadi bahan candaan juga di antara pengunjung dan pekerja, soal fakta bahwa mereka yang biasanya saling lempar peluru, kini saling lempar espresso.

Gerbang Emas

Setelah sekian bulan Kahwetna mengadakan berbagai pertunjukan seni dan budaya, tercetuslah proyek yang lebih besar lagi: refitalisasi Bab el-Dahab (Gerbang Emas).

image source: www.marchlebanon.org

Usut punya usut, Jabal Mohsen dan Bab el-Tebbaneh sebelum perang sipil tahun 70-an adalah satu kawasan bernama Bab el-Dahab. Disebut begitu, karena potensi ekonominya yang menjanjikan. Maka berkaca pada sejarahnya, warga sekitar yang sudah terjamah ide-ide perdamaian MARCH ingin kembali menyatukan dua kawasan ini.

Sejak 2016 sampai sekarang, proyek ini sudah berhasil menghidupkan kembali 200 pertokoan dengan bantuan 230 pekerja lokal di bilangan Syria Street dan Muhajareen Street. Mereka yang berpartisipasi dalam pembangunan banyak menerima bimbingan softskill dari Kahwetna. Efeknya pun mulai terlihat dari banyaknya toko yang menggunakan nama “el-Dahab” di atas pintunya.

Atris dan Ali masih terus berkarya dan memperluas cakupan perdamaian yang mereka rasakan di atas panggung. Berbagai macam pentas seni dan proyek terus berjalan sampai sekarang dan tersebar ke seluruh Lebanon. Sampai awal tahun ini, Lea Baroudi sebagai pendiri MARCH mendapat medali kehormatan Britania dari Ratu Elizabeth II. Sebuah penghargaan tahunan bagi mereka yang berkontribusi secara positif dan masif bagi masyarakat dalam berbagai bidang.

Oleh:

Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan

Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019

Ig: @abahcomic @ppi_lebanon

Toleransi: Penghinaan, Perbedaan, Kebiasaan

Orang tak dikenal membakar habis perpustaakaan milik Pendeta Kristen Ortodox di utara Lebanon, Tripoli. Pendeta Sarrouj dituduh telah melecehkan Islam, setelah ada yang menemukan artikel ‘sensitif’ dalam sebuah buku di perpustakaannya. Satu penjaga perpustakaan tertembak. Dan sekitar 50.000 buku lenyap setelah melayani kebutuhan publik sejak 1972.

Kejadian itu terjadi Januari 2014 silam. Di Tripoli yang punya populasi 80% muslim. Sebelumnya Pendeta sudah menemui para petinggi muslim setempat untuk klarifikasi. Dan akhirnya demonstrasi yang direncanakan, dibatalkan. Pasca pembakaran, aparat mengatakan Pendeta Sarrouj tak melakukan kesalahan apapun—bahwa artikel tersebut, tak ada hubungannya dengan pendeta. Saat konferensi pers, aparat berjanji “siapapun yang ingin menyulut perselisihan di Tripoli ditakdirkan masuk penjara, sebagaimana yang akan menimpa mereka para pembakar (perpustakaan pendeta)”.

Agustus 2018 seorang muslim ditemukan mati terpotong-potong di pinggir jalan kota Danniyeh, Lebanon Utara. Korban—Muhammed al-Dhaibi, awalnya terlibat adu mulut dengan penjaga toko kelontong soal kenaikan harga, kata saudaranya pada media. Muhammed secara spontan menyebut Tuhan dalam makiannya pada penjaga toko. Seorang Syeikh (Kyai), mendengar ucapan Muhammed dan menegurnya. Dan Syeikh-pun ikut terlibat perdebatan dengan Muhammed.

Setelah meninggalkan toko, Muhammed dicegat Syeikh bersama dua saudaranya yang langsung membunuh korban dan membuang tubuhnya di sebuah jalan. Setelah investigasi, aparat mengatakan bahwa korban “menghina Syeikh dan Tuhan”. Tak lama, Syeikh dan saudaranya menyerahkan diri sambil menyatakan kebanggaan atas tindakannya, dilansir Al-Jadeed.

Akhir tahun kemarin, Hakim Jocelyne Matta lewat pengadilan Tripoli memvonis dua pemuda muslim untuk mempelajari Alquran. Sepuluh hari sebelumnya, dua anak ini memasuki sebuah gereja, menjatuhkan patung Mary di dalamnya, mencium patung tersebut dengan pose tidak senonoh. Mereka merekam aksi tersebut lalu menyebarkannya via WhatsApp.

Seperti Indonesia, Lebanon juga punya pasal penghinaan agama. Dalam Pasal 437 Hukum Pidana Lebanon menyatakan hukuman maksimal satu tahun penjara, bagi siapapun yang “menghina Tuhan di muka umum”. Namun sampai sekarang, belum ada satupun laporan yang mengatakan seseorang terjerat pasal tersebut.

Menurut survey Gallup, masyarakat Lebanon secara umum masih lebih toleran daripada Britania dan Jerman—jangan tanya negara Arab lainnya. Dalam merespon “Saya tidak keberatan seorang dari agama lain pindah ke sebelah rumah saya”, 76% responden menyatakan “sangat setuju”. Sementara Britania dan Jerman hanya 57%.

Selain itu, di saat bersamaan, untuk membayangkan tingkat relijiusitas masyarakat Lebanon, 82% responden muslim dan 86% responden kristen sepakat bahwa agama sangat penting dalam keseharian hidup mereka.

Sebagai contohnya kita bisa melihat paduan suara yatim-piatu muslim dari Imam Sadr Foundation, yang menyanyikan lagu natal di Gereja Saint Elie, Beirut, 2017 silam.




Atau Syeikh Khaled Yamout yang melantunkan azan dan kutipan Surat Maryam dalam sebuah acara untuk Perawan Mary di Gereja Médaille Miraculeuse, Beirut.

Meskipun perang sipil pernah menghancurkan Paris-nya Timur Tengah, Lebanon masih dikenal sebagai ruang bernapas pluralisme—khususnya pasca Musim Semi Arab. Selain memberi jatah kursi politik pada 18 sekte berbeda, pemerintah menjamin kebebasan melakukan ritual agama dan pembangunan rumah ibadah, selama tidak mengganggu ketertiban publik. Sampai sekarang, juga tidak ada laporan mengenai kekerasan atau diskriminasi yang berkaitan dengan keyakinan atau praktik keagamaan.

Mungkin itu sebabnya, puluhan warga dan pelajar Tripoli ikut membantu proses pembersihan lalu mengumpulkan bantuan untuk membangun perpustakan bersejarah Pendeta Sarrouj “lebih baik dari sebelumnya”.

“Saya meminta polisi menangkap mereka yang mengeluarkan fatwa dan memerintahkan penyerangan (perpustakaan), ketimbang fokus pada mereka yang melakukan penyerangan”, kata Syeikh Salem al-Rafei kepada media.

Oleh:

Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan

Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019

Bhinneka Tinggal di Neraka

Sebagai satu-satunya negara bangsa Arab di Timur Tengah yang memiliki presiden Kristen, Lebanon memang layak disebut “ruang bernapas pluralisme” bagi kawasan. Berawal dari pelabuhan Beirut yang menjadi pusat masuknya segala hal dari Eropa pada jaman Ottoman—termasuk agama, budaya, dan pencampuran ras. Pada abad 17-an, kawasan yang kini kita sebut Lebanon dikuasai seorang pangeran Druze, yang sempat diasingkan khalifah ke Italia, dan ikut menyaksikan perkembangan Renaisans. Kepulangannya ke Lebanon yang kembali berkuasa membawa sekaligus revolusi budaya dan intelektual tersebut. Selain mengenalkan mesin percetakan pertama di kawasan, ia juga mendukung para Jesuit Katolik membuka sekolah di seantero negeri. Ini adalah salah satu faktor yang mendasari kuatnya pondasi Kristiani di Lebanon kini.

Seiring berjalannya waktu, Perancis jadi semacam ibu asuh Lebanon pasca kejatuhan Ottoman. Keterikatan Perancis dengan Lebanon juga didasari hubungan politik mereka dengan populasi Kristen yang besar di sini. Sampai ketika beragam suku yang terpolarisasi agama di Lebanon menuntut kemerdekaannya, kubu Kristen Maronit yang cinta pada Perancis jelas tak ingin dirinya merdeka. Sementara dari kubu non-Kristen, lebih cenderung berpihak pada arabisme Suriah. Mereka ingin bergabung dengan Suriah. Resolusi atas konflik ini berakhir dengan kemerdekaan Lebanon sebagai negara independen.

Resolusi itu bernama National Pact. Kesepakatan ini tidak tertulis, namun dipahami, disepakati, dan dipegang teguh secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat. Isinya, kesepakatan pemberian kursi presiden pada partai dari agama Kristen Maronit; perdana menteri untuk partai dari Islam Sunni; ketua parlemen untuk partai Islam Syiah; staf umum militer untuk partai Druze; dalam kesepakatan juga termasuk kerelaan partai Muslim melepaskan mimpi persatuannya dengan Suriah, dan penerimaan partai Kristen atas identitas Lebanon sebagai negara bangsa Arab. Dalam konstitusi yang lahir setelahnya, tercatut bahwa Lebanon dibentuk dengan persatuan 18 sekte (12 sekte Kristen, empat Muslim, Druze, dan Yahudi). Dari sini, jatah pembagian 128 kursi parlemen dibagi antara kubu Kristen dan Islam dengan perbandingan 6:5. Menjadikan identitas Lebanon sebagai negara dengan pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok agama.

Kesepakatan ini mengukuhkan citra Lebanon sebagai negara yang plural dan toleran. Tak butuh waktu lama, Lebanon mentransformasikan dirinya sebagai ikon utama pluralisme di Timur Tengah. Menjadi kiblat liberalisme dunia Arab dan pelarian bagi warga tetangga yang terlalu mendapat banyak aturan di negara asalnya. Dibalik semua keberagaman itu semua Lebanon juga memiliki kekuatan ekonomi yang sangat stabil, menjadikan Lebanon tempat yang menjajikan untuk mengadu nasib bagi siapapun.

Namun, tak berlangsung lama. Pada dekade 60-an, kubu Muslim mulai tak puas dengan alokasi kekuasaan di parlemen. Tingginya angka kelahiran Muslim dan tingginya angka imigrasi dari penduduk Kristen harusnya membalik keadaan. Ditambah lahirnya Israel yang menempel di perbatasan selatan Lebanon yang membakar tak hanya situasi politik di Lebanon, tapi seantero Arab. Pengungsi dari Palestina membludak sampai ke Beirut, dan akhirnya memicu perang sipil pada tahun 1975—yang berakhir tahun 1990. Perang berakhir dalam satu perjanjian yang disebut Taif – nama kota tempat perjanjian ini ditandatangani di KSA.

Pasca perang yang berlangsung hampir 20 tahun, yang sebenarnya murni konflik politik antar partai, para pihak yang bertikai bersepakat satu sama lain. Mereka yang sering disebut sendiri oleh masyarakat lebanon sebagai mafia perang  melangkahkan kakinya menuju pemerintahan dan memulai dominasi politiknya. Mereka yang sebelumnya menggunakan seragam milter kini duduk nyaman mengenakan jas di pemerintahan.

Ketika tampuk kekuasaan di tangan mereka, para elite politik ini mulai mengambil keuntungan dari sekte agama yang mengangkat mereka ke meja pemerintahan sebagai wakil, dan tidak banyak yang memiliki nyali untuk membicarakan atau mengkritiknya. Para elite sepakat untuk membagi setiap sektor yang ada di Lebanon guna dimonopoli, mendominasi industri tertentu tanpa persaingan. Pada akhirnya korupsi meluas, perpecahan di dalam dan di luar tubuh pemerintahan, ketegangan sekterian, ekonomi semakin merosot, fasilitas publik tidak efisien, dan pertengkaran elit politk dalam membuat keputusan tentang isu-isu yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan warga Lebanon sama sekali.

Singkatnya, keberagaman sekterian yang dibenturkan dengan kepentingan politik adalah kanker yang terus merambat dalam tubuh Lebanon.  

Oleh:

Muhammad Bahesty dan Irfan Afendi; Kastrat PPI Lebanon 2018-2019

Ig: @ppi_lebanon @abahcomic @irfaanafendii

Tuesday, 4 July 2023

international women's day?

Dalam keseharian kita mengenal tragedi pelecehan dan perendahan. Tak dinyana, inilah dunia yang dihasilkannya: penuh dendam, haus akan kompetisi, tak akan merasa cukup atas apa yang dimiliki. Perang berkecamuk bagai hilir mudik pelanggan Jumat Hitam. Sementara jiwa yang lembut meringkuk, menghindari udara yang mencekik, berlindung di balik bayang-bayang ibu-nya.

Sosok wanita, tanpa perlu dikenal akan selalu menopang apapun yang akhirnya kita kenal. Dalam puncak tahtanya sebagai ibu, "Bagaimana bisa, wahai ibu, aku menjadi ayah namun tak pernah dewasa," seru Nizar dalam suratnya. Wanita itu, hanya dengan keberadaannya yang jauh, mampu membuat rokok-pun membosankan bagi sang pujangga.

Mendengar Nizar, Qais mengganti nama, lalu pergi ke hutan meratapi kegagalannya menjadi waras. Baginya, ia adalah pecundang yang bahkan gagal memahami dalamnya makna ibu yang ia lihat dalam diri Layla. Layla berusaha menghiburnya namun terus diusir Majnun. Hanya kematian Layla yang mampu menarik Majnun dari kegilaannya, lalu merangkak memeluk batu nisan, dan mengundang malaikat kematian. "Bangkitkan aku dalam pengasingan dari dunia ini."

Nizami memerhatikan Majnun dari jauh, dan tertawa. Akhirnya ia belajar, bahwa meski semua cerita disampaikan dari lisan Majnun, namun intinya adalah Layla. Maka ia taruh nama wanita mendahului nama pria. Karena memang begitu adanya.

Wanita-wanita tidak menjadikan cv sebagai riwayat hidupnya, di atas sejarah kemanusiaan-lah mereka meninggalkan jejak kakinya.

Terkutuklah jiwa yang lupa. Ia yang kehilangan kasih sayang wanita, mengalami patah tulang punggung yang parah. Jiwanya meronta bagai seorang anak di samping kuburan ibunya. Tak ada gagak yang mampu menandingi perih suara teriakkannya.

Ingatkan aku, tanpa menyebut nama Tuhan, bahwa wanitalah bumi ini; wanitalah senyum ini; wanitalah hati ini.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...