”Bagi banyak orang, ‘Yahudi Lebanon’ tak
lebih dari sebuah konsep. Namun nyatanya, Yahudi pernah hidup berdampingan
dengan populasi Kristen dan Muslim—mereka bahkan berbagi kursi kekuasaan di
parlemen. Beirut, Tripoli, Saida, dan Hasbaya adalah kota yang dulu mereka
sebut rumah. Natal dan Idul Fitri adalah momen yang mereka rayakan bersama
tetangganya.” —Nadine Mazloum, StepFeed.
Boleh dikatakan bangsa Yahudi konsisten hijrah
dari ribuan tahun lalu. Kota ke kota, kerajaan ke kerajaan, negara ke negara.
Hingga saat ini, tercatat ada 14 juta diaspora Yahudi di dunia—tercecer di
sana-sini. Satu-dua cerita juga mengabarkan keberadaan mereka di Indonesia.
Tapi mungkin sulit mendengarnya dengan suka cita di negara kita. Mengingat
sudah 70 tahunan isu Yahudi agak sensitif bagi komunitas muslim kebanyakan—sejak
berdirinya Israel.
Jika ditanya dari mana asal mereka, paling
tidak menurut sejarah, tentu saja sekitaran Timur Tengah. Sebagai turunan Yakub
atau Jacob atau Israel, setidaknya kita tahu ia pernah tinggal di Kanaan
atau Palestina masa kini. Kisah-kisah mereka selama masa kenabian Muhammad saw
juga tidak sedikit. Maka mereka pernah ada di bilangan Madinah.
Lebanon-pun punya kesaksiannya sendiri.
Sebuah bangunan tua di kota Saida—yang kini jadi rumah bagi imigran Suriah dan
Palestina—dulunya berfungsi sebagai sinagog. Termasuk sinagog tertua di dunia,
yang dibangun tahun 833 M. Sinagog ini berdiri di atas reruntuhan kuil yang
hancur tahun 66 sebelum masehi. Konon, Jesus pernah berceramah di sana. Jadi
setidaknya kita bisa berasumsi, bahwa yahudi sudah ada di Lebanon sejauh
ingatan sejarah kita tentang bangsa-nya Rostchild ini.
Namun berbeda dengan negara Arab lainnya, kita
masih bisa merayakan perbedaan bersama yahudi di Lebanon. Lepas tumbangnya
dinasti Ottoman, Perancis mendapat jatah Lebanon untuk diduduki. Di bawah
mandatnya, Lebanon yang masih seperti kumpulan komunitas agama ingin berdaulat.
Maka untuk menghindari konflik politik, Lebanon di bawah kekuasaan Perancis
untuk pertama kali melakukan sensus penduduk. Sesuai hasilnya, Kristen Maronit
mendapat jatah kursi presiden sebagai mayoritas utama. Kemudian Muslim Sunni
dapat jatah perdana menteri, dan Muslim Syiah juru bicara parlemen. Sisanya,
ada 15 sekte lagi yang terhitung sebagai bagian dari Lebanon mendapat jatah
kursi di parlemen dengan jumlah berdasarkan kuantitas penganutnya. Dari situ,
dikhususkan satu kursi perwakilan untuk tiga sekte ter-sedikit di Lebanon,
salah satunya, sekte yahudi.
Lima tahun setelah Lebanon merdeka dari
Perancis, Israel tercipta (1948). Kemarahan negara-bangsa Arab merasuki
penduduk Yahudinya dengan ketakutan dan ancaman. Bangsa Yahudi untuk kesekian
kalinya hijrah. Tujuan utama terpecah dua: Israel dan Eropa-Amerika. Namun ada
tujuan alternatif: Lebanon. Sejak berdirinya Israel, Lebanon adalah
satu-satunya negara Arab yang tercatat mengalami kenaikan populasi Yahudi di
dalam perbatasannya. Buku The Jews of Beirut mencatat pada tahun 1950,
kurang lebih 10.000 orang yahudi masuk ke Lebanon dari Suriah, Iraq, dan
sekitarnya. Dengan menjadi satu-satunnya negara Arab yang dipimpin Kristen
(Maronit), juga kenyataan bahwa dominasi politiknya tak dipegang satu golongan—boleh
dikatakan, epitome Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya—Lebanon jadi
negara paling ramah yahudi di kawasan.
Beirut menampung paling banyak Yahudi pada
masanya. Di samping rumah megah Perdana Menteri Saad Hariri ada kawasan yang
dulu jadi pusatnya Yahudi—sebuah jalan bernama Wadi Abu Jamil. Di kawasan yang
membelah pemukiman Kristen dan Muslim ini, pernah berdiri sekolah, pertokoan,
juga sinagog Yahudi. Dalam film dokumenter BBC Arabic tahun 2006
berjudul Yahud Lubnani, Mokhtar Itani, penulis buku Our Beirut
bercerita, “Mereka (Yahudi) dulu dianggap
bagian dari komunitas Arab Lebanon yang menganut agama Yahudi atau
pengikut Musa. Sama seperti Muslim yang mengikuti Islam dan Muhammad, atau
Kristen yang mengikuti Isa. Mereka bagian dari penduduk Beirut yang jadi
orang-orang terdekat kita. Bahkan, mereka banyak memiliki posisi penting. Ada
seorang Rabbi namanya Solomon. Dia adalah ahli sunnat paling terkenal di
kalangan Muslim saat itu.” Itani juga mengingat tentang Dokter Nassim Chams,
seorang Yahudi yang diberi julukan “Penyembuh Kaum Miskin” (The Healer of
The Poor). Ia mendapat tempat khusus di hati masyarakat Beirut atas
dedikasinya melayani orang sakit tanpa memungut biaya apapun, bagi
siapapun—terlepas agama, ras, dan kebangsaannya.
Secara politik, keberagaman agama yang
membangun pemerintahan Lebanon meniscayakan perlindungan setiap sekte yang
terlibat dalam kekuasaan. Hal ini juga tertulis jelas di konstitusi yang
tersedia di situs resmi kepresidenan: C) Lebanon adalah republik parlementer
demokratis yang menghormati kebebasan publik, khususnya kebebasan pendapat dan
kepercayaan, dan menjunjung keadilan sosial serta kesamaan hak dan kewajiban
bagi seluruh warganegaranya tanpa diskriminasi (pembedaan).
Gelombang migrasi pertama yang membuat
Lebanon sepi Yahudi adalah perang Arab-Israel tahun 1967. Perang ini mulai mengaburkan pandangan
masyarakat Lebanon atas perbedaan Yahudi dan Zionis. Di tambah merangsek
masuknya pengungsi dan militan Palestina ke Beirut. Pada satu masa, penduduk
Yahudi mau tak mau membagi atapnya tak hanya dengan sesama warga Lebanonnya,
tapi juga Palestina. Sinagog mereka bahkan sempat menjadi pengungsian Palestina
ketika perang berkecamuk. Banyak orang bersaksi bahwa terjadi penculikan sampai
pembunuhan warga Yahudi oleh militan Palestina. Ketika di saat bersamaan juga
banyak yang bercerita bahwa Yaser Arafat, sempat jadi pahlawan Yahudi karena
menggunakan pengaruhnya menyelamatkan beberapa keluarga Yahudi dari
kesalahpahaman. Namun pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa ketakutan dan
ketidak-aman-an lebih nyata dari kedamaiannya. Itu sebabnya pada akhir 1975,
tercatat kurang dari 1.000 Yahudi bermukim di Lebanon. Di kemudian hari, Perang
Sipil dan perang dengan Israel tahun 1982 membuat makin banyak yang
meninggalkan Lebanon—yang jumlahnya kini masih diperdebatkan antara 200 sampai
40 orang.
Orientasi Zionis
Seniman New York asal Lebanon, Rola
Khayyat, membuat dokumenter berjudul From Brooklyn to Beirut, yang
menceritakan kisah-kisah diaspora Yahudi di negarannya. Dalam wawancara dengan
StepFeed, menurutnya komunitas Yahudi Lebanon di Brooklyn cukup mencolok
ketimbang minoritas lain di sekitarnya. “Mereka selalu menolak membaur
sepenuhnya. Cukup keras kepala memelihara identitas, budaya, dan nilai-nilai
Timur Tengah yang mereka dapat di Lebanon.”
Ketika ditanya soal bagaimana mereka melihat
hubunganya dengan Lebanon, salah satu narasumber berkata, “Lebanon adalah
sebuah kebudayaan. Yahudi adalah sebuah agama. Tak ada kontradiksi bagi
keduanya.” Rola juga mengatakan semua narasumbernya berbicara bahasa Arab
sefasih dirinya.
Di permulaan abad 20, komunitas Yahudi
Lebanon kurang aktif dalam politik dan tak melibatkan diri di perseteruan
antara komunitas agama lainnya. Secara umum, komunitas ini cenderung mendukung
Nasionalisme Lebanon, dan menempel pada penguasa Perancis. Ketika di saat
bersamaan, Perancis pada masa itu tidak simpatik pada ide berdirinya negara
Yahudi yang dicanangkan rivalnya, Kerajaan Inggris. Komunitas ini juga apatis
terhadap ide tersebut. Memang ada segelintir pemuka komunitasnya yang antusias
menyuarakan Zionisme, dengan beberapa dukungan di sana-sini. Sekolah Yahudi
terbesar di Beirut, yang didirikan Alliance Israélite Universelle asal
Paris juga dengan aktif bicara soal Zionisme. Namun catatan Jewish Agency, organisasi
internasional yang menghubungkan Yahudi di dunia menyesali kurangnya “gairah
nasional” dari sejawatnya di Lebanon. Lebanon juga tidak mengirim delegasi ke World
Zionist Congress.
Dilema Maghen Abraham
Selesai dibangun tahun 1925, Sinagog Maghen
Abraham jadi semacam masjid agung bagi penganut Yahudi di Beirut dan
sekitarnya. Terletak di Wadi Abu Jamil, sinagog ini terseret badai perang sipil
tahun 1975. Dan ketika Israel memburu Palestine Liberation Organization
(PLO) sampai ke Beirut, ironisnya, bombardir udara itu juga menghancurkan
Maghen Abraham yang sudah kosong waktu itu. Pasalnya, ada kabar bahwa PLO
memelindungi kawasan tersebut.
Tahun 2009, gagasan untuk merenovasi Maghen
Abraham jadi perbincangan hangat. Isaac Arazi, perwakilan komunitas Yahudi
setempat mulai menggalang dana dari diaspora Yahudi Lebanon di Eropa-Amerika.
Yang menarik, dukungan datang dari hampir seluruh komponen politik—bahkan
Hizbullah sebagai musuh bebuyutan Israel mengeluarkan press release
mengenai hal ini. “Ini (Maghen Abraham) adalah tempat ibadaha, dan kami
menyambut pemugarannya,” kata Sekjen Hizbullah, Hasan Nasrallah.
Bloomberg melansir Perdana Menteri Fouad
Siniora mengatakan, “Kami menghormati agama Yahudi seperti menghormati agama
Kristen. Satu-satunya masalah kami adalah dengan Israel.”
Namun sepuluh tahun pasca renovasi, lampu
Maghen Abraham belum juga dinyalakan. Pagarnya terkunci dengan penjagaan ketat
militer di sekitarnya. Seorang muslim, Bassam al-Hout, pengacara komunitas
Yahudi Lebanon mengatakan hanya ada dua rabbi di Lebanon dan membantah
adanya rencana Maghen Abraham beroperasi kembali.
The Israelite Community—begitu dokumen negara menyebutnya, nama yang sudah bertahun-tahun
dilobi untuk diganti sebagai upaya menjaraki diri mereka dengan negara Israel—kini
hidup dalam bayang-bayang sejarah Lebanon. Sulitnya memastikan keberadaan
mereka, dan mundurnya komunitas ini dari aktifitas politik seperti parlemen
membuat ingatan atasnya perlahan pudar. Sejak awal berdiri Israel
mendeklarasikan diri sebagai Negara Yahudi. Dan fakta ini membuat makin
kaburnya batas pembeda antara penganut Yahudi dan luka yang disebabkan Israel
pada penduduk Lebanon. Selain itu, kondisi politik dan keamanan yang belum
stabil menghantui tak hanya komunitas Yahudi, namun seluruh komponen
masyarakat. Sehingga aktifitas sekte yang cukup besar seperti eksis kembalinya
penganut Yahudi berpotensi meledakkan tensi yang lama dijaga. Dan pernyataan
resmi di atas kertas tak lebih dari sekedar pernyataan—tak berpengaruh di
jalanan.
Kini media dan masyarakat Lebanon mulai
menggunakan kalimat-kalimat nostalgia ketika berbicara soal tetangga Yahudinya.
“Alain Abadi biasa duduk di teras, memainkan gitarnya dan bernyanyi. Dia akrab
dengan tetangganya, dan sangat sembrono,” kata Berthe Mamo, mantan penduduk
Wadi Abu Jamil, mengenang tetangga Yahudinya.
“Apa aku berharap kembali ke Beirut? Tentu
saja! Di Facebook, aku selalu bicara soal Lebanon. Aku masih punya teman
di sana dan tak bisa melupakan mereka. Aku hidup 35 tahun di sana!” kata Alain
Abadi, yang kini tinggal di Tel Aviv mengikuti kemauan ibunya, ketika
diwawancara BBC.
23-27 April 2019