Tuesday, 25 October 2016

Leyeh leyeh

Kepak sayap merpati terlihat di antara kepulan asap. Asap yang menandakan pengangguran di negeri orang. Orang bilang ambisi akan mengangkat semangat. Semangat juang perubahan dan pergerakan. Pergerakan yang biasa menggulingkan kursi kini hanya menggulingkan bantal. Bantalan kemalasan yang asik mendengar suara kipas. Kipas memori mengingatkan kehangatan rumah. Rumah tempat semua bermula walau belum tentu berakhir. Berakhir sudah masa keemasan yang tinggal kenangan. Kenangan yang hanya dipakai untuk menghibur bukan mendorong. Mendorong hati dan pikiran untuk terjun ke realitas dalam mimpi. Mimpi yang telah dibentuk sedemikian hingga sejarah patut mengenang. Mengenang keberhasilan atas jerih payah yang entah kapan. Kapan keluhan berhenti aku tak tahu. Tahu pasti bahwa besok bisa sekarang. Sekarang pun hanya sanggup menulis tanpa berbuat. Berbuat sesuatu yang pantas ditulis. Ditulis lah note ini. Ini agar aku ingat bahwa semangat pernah muncul disini.

Beit El Kil
Selasa malas, sore

Dunia memang itu-itu saja (yasalam)

Banyak yang terbang melintasi zona waktu demi mengais ilmu—yang mungkin sangat melimpah di rumahnya sendiri. Walau ada juga di antaranya yang terdorong mimpi orang tua, bosan menganggur, atau sekedar ingin naik pesawat.

Pada akhirnya, setiap tujuan itu tak berarti di hadapan waktu: mereka semua tergilas rutinitas dan mau tak mau membentuk diri dengan cetakan yang sama di sekolahnya.

Terlintas pertanyaan, untuk apa orang-orang ini menghabiskan waktu mempelajari agama. Sebagian mereka sudah mempelajarinya di rumah, di kelas, atau bahkan di majlis keagamaan. Sebagian lagi bahkan sudah pernah masuk ke instansi pendidikan yang persis sama hanya negara berbeda. Mempelajari hukum-hukum agama, konsep, kisah, dan praktek keagamaan yang sama dimana-mana, bertahun-tahun, untuk apa?

Pulang dengan selembar ilmu yang sama seperti kawannya. Sebagian mendapat kesempatan mengajarkan ingatannya pada mereka yang lebih muda bahkan tua. Yang muda dan bersemangat, nantinya akan dikirim ke tempatnya belajar untuk mempelajari pelajaran dan buku yang juga sama, hanya guru berbeda—mungkin temannya. Untuk apa?

Sebagian pelajar agama disini dengan antusias memamerkan api semangat keagamaan di matanya. Ini lain cerita. Setiap ilmu dan buku yang dilahap adalah untuk kepuasan dan pencapaiannya sendiri. Meski beberapa pencapaian itu mungkin berhubungan dan berpengaruh terhadap orang disekitarnya—itu pun mungkin. Tak ada pertanyaan untuk yang satu ini. Layaknya orang gila, ia punya dunianya sendiri—alasannya sendiri. Yang seandainya ia jelaskan pun, takkan kupahami.

Ada lagi yang lebih mengerikan: bersekolah demi sebuah kontrak kerja. Fenomena perburuhan ini mudah sekali ditemukan di universitas pada umumnya. Dimana pemilihan jurusan bahkan kampus berorientasi ngantor atau potensi gaji yang aduhay. Mereka bermimpi akan bekerja setelah kuliah, menabung dan beli rumah, lalu menikah. Beranak dan berharap keturunannya mendapat kehidupan yang minimal lebih baik darinya walau tak sesuai keinginan si anak. Dan terulang entah sampai generasi keberapa.

Aku memang layaknya sih bersyukur. Dunia yang memang sudah tak menarik rupanya jadi sebab kakek-bapak-anak-cucuk mengulang pikiran yang sama meski aplikasinya berbeda. Tak ada gejolak, tak ada tuntutan mendesak untuk melakukan sesuatu yang baru dalam waktu dekat. Kedamaian ini membuat kreatifitas manusia tumpul. Ya, ini semua berkat kedamaian yang lama sudah tercapai.

Dunia akhirnya memang itu-itu saja dan pantas rasanya tuhan mengakhiri pertunjukkan dramanya. Rupa-rupanya manusia lebih kreatif sehingga skenario tuhan pun hilang arah. Perdamaian yang keburu dicapai sebelum waktunya membuat rentang waktu tuhan membuat cerita membosankan. Malah, berkat kebosanan itu sebuah pertanyaan jadi sempat dilontarkan: tuhan, apa arti pertunjukkan ini?

Entah kenapa tuhan tersenyum.

Seminggu tanpa kelas
Beirut, Mon 24 Okt

Sunday, 23 October 2016

Ibadah Perokok

Dengan isyarat ia meminta sebatang rokok. Aku bertanya padanya, “Tak masalah merokok di kamar?”. Kamarku dihuni empat orang. Hanya aku dan dia yang merokok.

“Haha, masalah kawan. Tapi sudahlah, ini kamar kita.”

Kujawab dengan tawa. “Tapi aku akan tetap merokok di luar.”

“Kenapa?”

“Ada dua jenis ibadah.”

“Apa itu?”

“Horizontal dan vertikal. Vertikal adalah ibadahmu dengan tuhanmu, olehmu untuk dirimu, karena tuhan tak memerlukan apapun bukan? Dan horizontal adalah ibadahmu terhadap sesama mahluk, khususnya manusia. Olehmu, untuk mereka.

Aktifitas sosial adalah bentuk penghambaan seseorang terhadap tuhannya. Sebuah tindakan yang dimulai dari kesadaran akan ketuhanan yang esa. Bahwa siapapun dan apapun, tercipta oleh tuhan yang sama. Maka menghargai, merawat, menyenangkan, dan membantu sesama adalah penyerahan diri terhadap tuhan yang diakui menciptakan segalanya. Meng-abdi pada pencipta. Oleh karena itu disebut ibadah horizontal.

Aku menikmati rokok itu, kawan. Tapi bukan dengan merebut kenyamanan orang lain.”

Ia membalas dengan senyum. Mengambil gelas kecil, dan mematikan rokoknya.

Lantai empat bersama orang Afrika
Malming, 22 Okt 2016

Pesan Universal

Diambilnya kertas dan pulpen. Menulis kata demi kata dari lagu Iwan Fals: Ethiopia. Dan diterjemahkannya ke dalam bahasa nasional negeri orang.

Sebabnya adalah seorang teman, asal Ethiopia. Dalam sebuah percakapan singkat ia teringat lagu dari seniman besar negerinya. Kawannya itu terkejut antusias. Dan membuatnya berjanji akan menunjukkannya esok hari.

Seminggu ia bersusah payah mencari kata yang tepat demi setiap kata di lagu tersebut. Dan rampunglah sudah.

Dengan semangat ia pergi menuju kamar temannya, membawa surat untuk Ethiopia dari Indonesia.

Didengarkan, lalu dijelaskan.

Setetes haru merubah suasana saat itu. “Tak terbayang olehku akan ada yang meneriakkan nama kami di luar sana,” ucap sahabat.

“Kemanusiaan adalah pesan universal, kawan. Sepasang bola mata hanya dapat melihat kata, namun manusia yang membaca akan memahami derita sesamanya.” jawabnya.

Haret Hreik
Malming, 22 Okt 2016

Wednesday, 12 October 2016

Kamfret

Setiap perpisahan selalu diwarnai dengan keraguan atau keyakinan. Antara kemungkinan dan kepastian. Apakah jumpa atau dadah selamanya. Antara sosok dan memori yang mencolok.

Perputaran dunia dikata tak abadi namun tak ada yang tahu pasti, kapan ia berhenti?

Sang Maestro memang telah berfilosofi dengan bumi yang bundar, dan hidup pun bagai roda yang berputar.

Air mata akan tergantikan dengan tawa, juga sebaliknya.

Hidup penuh dengan tanda tanya, namun apalagi pilihan selain menikmatinya?

Kita adalah tinta di atas kanvas, tunduk pada kemauan pemegang kuas. Menari dan kenali diri, lalu jadilah diri sendiri.

Maha karya yang penuh dengan warna.

Amarah, senang, benci dan cinta dalam gradasi waktu yang kaku.

Cukup sampai disini.

Genggam erat tanganku, mendekat dan tempelkan pinggulmu.

Pejamkan mata dan biarkan jiwa merekam segalanya.


Secangkir susu jahe untuk si bangsat.
Selasa, 11/10 dini hari.
@LesehanSejarahRI

Membaca Penulis

Sejak manusia kuno menggambar perburuannya di goa, para penulis berusaha merekam pengalaman diri--fisik atau jiwa--lewat karya. Ada yang sekedar menceritakan, ada yang juga menafsirkan.

Mereka yang memiliki pertanyaan dalam hidupnya berusaha mengajak kita ikut bertanya lewat tulisannya. Atau bahkan tak jarang penulis hanya ingin curhat. Bagaimanapun, penyelaman pertanyaan dalam tulisan itu sering kali malah menuntunnya atau kita pada jawaban itu sendiri.

Gelombang seperti ini tak pernah berhenti sejak gambar di goa itu, tapi berkembang.
Entah sampai kapan dan pertanyaan apa lagi yang akan dilontarkan peradaban.

Tugas? Lucu juga manusia yang gila sekolah sampai hidup dianggap sebuah instansi pendidikan. Cukuplah untuk jujur pada diri sendiri akan pertanyaan-pertanyaan yang pasti berdatangan. Bahkan tanpa mengikuti arus kegalauan penulis, kita akan bertemu dengan pertanyaan dan jawaban kita sendiri.

Jangan berpikir dulu, tapi perhatikan. Dengarkan lalu pikirkan. Setelah itu, rasakan.


Barayaku tercintah.
H-2 DOH.
Selasa sendu, 11 Oct 2016

Saturday, 8 October 2016

Bebas

Terbayang sebuah kenikmatan
Orang menyebutnya kematian
Aku melihat kebebasan
Memilih sering dianggap kemewahan
Namun sadarkah kau bahwa itu tanggung jawab yang dibebankan?
Sayang sekali ketika dibebaskan
Tapi mati tidak termasuk dalam pilihan
Beban apa?
Benar atau pun salah kita memilih, pasti ada konsekuensinya
Dan setiap jalan yang dipilih, selalu ada pilihan lagi didepannya
Pilihan akan selalu menghantui sebelum mati
Tanggung jawab adalah pasung bagi siapapun yang memilih
Bebas?
Tidak ada yang bebas
Bahkan untuk bebas memilih
Tak diberi kesempatan untuk tidak terjun dalam arena pemilihan
"Aku beruntung!" Katanya di mimbar sejarah
Hanya kematian kebebasan yang sesungguhnya
Ketika kita bebas dari pilihan

Thursday, 6 October 2016

Ketika Semesta Mengehingkan Cipta


Siang itu di bawah bayang SPBU, aku berteduh. Perjalanan masih jauh, dan siang masih panjang. Aku diam, membiarkan keringat menguap.

Ping.

Sebuah pesan online menggetarkan ponsel.

Fulanah sent a photo.

Kubuka dan layar LED bersinar melebihi kapasitasnya. Tak berkedip beberapa saat dan jantung berdetak cepat. Sebuah rindu bangkit dari kuburnya. Senyum merekah dengan sendirinya. Wajah yang tak ku kenal parasnya, namun begitu dekat di hati. Bukan mata, tapi jiwa yang mengenali.

Chit-chat terjadi dengan pemilik akun yang sedang bersama bidadari. Menghargai usahanya menggoda ketenangan hati yang telah lama mati.

Lepas beberapa menit tak kuhiraukan terik matahari dan menyalakan motor. Detak jantung sudah dibuat kacau, daripada galau di pinggir jalan lebih baik lanjutkan perjalanan. 

Singkat cerita setengah jam berjemur matahari dan menikmati hembusan knalpot, aku sampai tujuan bertemu klien. Bincang-bincang dan melihat kelayakan barang, akhirnya transaksi dibatalkan. Pulang, tanpa jeda sampai di rumah.

Kulepas jaket dan berbaring di kamar. Memori indah kasmaran terus menghantui. Tak sedikitpun keringat membasahi kaus sejak di SPBU.


Nostalgia menunggu visa
Cimenyan
Awal Oktober, Subuh

Tuesday, 4 October 2016

Happy Ending

Tengah malam sebuah motor tanpa lampu menyala terlihat mendekati dari belakang.

Jalanan memang sepi.

Dugh!

Nyeri terasa menyengat ke otak sampai ujung kaki.

Hangat dan basah, disambut perih yang menahan ronta di belakang leher.

Lemas membuat gas dan kemudi motor jadi tak terarah, dan jatuh.

Motor terlihat terseret jauh ke depan.

Kaki tangan perlahan mati rasa, dan mata kabur.

Derap kaki dan saut-sautan tak jelas mendekat. Satu orang sekilas terlihat mendirikan motor dan membawanya pergi. Satu dua kaki membuat tubuh bergeser. Sampai nyeri membuat buta dan tak sadar setelah tendangan terakhir di bawah kepala.

Tinggal bayang-bayang soal hutang dan wajah orang tua. "Aku akan mati..." Katanya pada diri sendiri.

Sisa kesadaran sudah memvonis akhir hidupnya. Dan ragam besarnya penyesalan membantu nafas menghentikan kerjanya.

Tiba-tiba sebuah kesadaran kecil menunjukkan batang hidungnya dan berkata, "Jadi, cuma sampai sini?"

Ketakutan dan penyesalan mulai senyap.
"Jadi begini kau akhiri kisahku, Tuhan?" Tangis dan ronta pun berhenti dan rona perlahan tenang.

Kesadaran kecil itu lahir dari sugesti yang bercumbu dengan waktu. Menghasilkan alam bawah sadar yang bodoamat dan legowo. Mudah menerima kenyataan meski diawali penyesalan. Cepat menyingkirkan segala beban. Merangkul kemungkinan dan relatifitas kehidupan.

"Oke... Sampaikan maafku pada ayah dan ibu. Terima kasih." Benak berkicau meski tak tahu bahwa itu yang terakhir.

Nafas mengucap perpisahan terakhir pada senyum yang tersulam di bibir.

***
Ruang putih di depan mata dan di bawah kaki terlihat begitu dalam dan luas meski tak gelap. Jauh pandangan memandang kekosongan membuat tenang. Sampai, teringat semua ketegangan yang terkahir ia rasakan.

"Aku sudah mati." Tertunduk, dan mengenang senyumnya yang terakhir.

Pasca liburan cukup mengasyikkan. Rapat penjebolan hati seorang perempuan. Cimuncang-Gerlong.
Selasa, 4 Oktober.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...