Tuesday, 25 October 2016

Dunia memang itu-itu saja (yasalam)

Banyak yang terbang melintasi zona waktu demi mengais ilmu—yang mungkin sangat melimpah di rumahnya sendiri. Walau ada juga di antaranya yang terdorong mimpi orang tua, bosan menganggur, atau sekedar ingin naik pesawat.

Pada akhirnya, setiap tujuan itu tak berarti di hadapan waktu: mereka semua tergilas rutinitas dan mau tak mau membentuk diri dengan cetakan yang sama di sekolahnya.

Terlintas pertanyaan, untuk apa orang-orang ini menghabiskan waktu mempelajari agama. Sebagian mereka sudah mempelajarinya di rumah, di kelas, atau bahkan di majlis keagamaan. Sebagian lagi bahkan sudah pernah masuk ke instansi pendidikan yang persis sama hanya negara berbeda. Mempelajari hukum-hukum agama, konsep, kisah, dan praktek keagamaan yang sama dimana-mana, bertahun-tahun, untuk apa?

Pulang dengan selembar ilmu yang sama seperti kawannya. Sebagian mendapat kesempatan mengajarkan ingatannya pada mereka yang lebih muda bahkan tua. Yang muda dan bersemangat, nantinya akan dikirim ke tempatnya belajar untuk mempelajari pelajaran dan buku yang juga sama, hanya guru berbeda—mungkin temannya. Untuk apa?

Sebagian pelajar agama disini dengan antusias memamerkan api semangat keagamaan di matanya. Ini lain cerita. Setiap ilmu dan buku yang dilahap adalah untuk kepuasan dan pencapaiannya sendiri. Meski beberapa pencapaian itu mungkin berhubungan dan berpengaruh terhadap orang disekitarnya—itu pun mungkin. Tak ada pertanyaan untuk yang satu ini. Layaknya orang gila, ia punya dunianya sendiri—alasannya sendiri. Yang seandainya ia jelaskan pun, takkan kupahami.

Ada lagi yang lebih mengerikan: bersekolah demi sebuah kontrak kerja. Fenomena perburuhan ini mudah sekali ditemukan di universitas pada umumnya. Dimana pemilihan jurusan bahkan kampus berorientasi ngantor atau potensi gaji yang aduhay. Mereka bermimpi akan bekerja setelah kuliah, menabung dan beli rumah, lalu menikah. Beranak dan berharap keturunannya mendapat kehidupan yang minimal lebih baik darinya walau tak sesuai keinginan si anak. Dan terulang entah sampai generasi keberapa.

Aku memang layaknya sih bersyukur. Dunia yang memang sudah tak menarik rupanya jadi sebab kakek-bapak-anak-cucuk mengulang pikiran yang sama meski aplikasinya berbeda. Tak ada gejolak, tak ada tuntutan mendesak untuk melakukan sesuatu yang baru dalam waktu dekat. Kedamaian ini membuat kreatifitas manusia tumpul. Ya, ini semua berkat kedamaian yang lama sudah tercapai.

Dunia akhirnya memang itu-itu saja dan pantas rasanya tuhan mengakhiri pertunjukkan dramanya. Rupa-rupanya manusia lebih kreatif sehingga skenario tuhan pun hilang arah. Perdamaian yang keburu dicapai sebelum waktunya membuat rentang waktu tuhan membuat cerita membosankan. Malah, berkat kebosanan itu sebuah pertanyaan jadi sempat dilontarkan: tuhan, apa arti pertunjukkan ini?

Entah kenapa tuhan tersenyum.

Seminggu tanpa kelas
Beirut, Mon 24 Okt

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...