Banyak yang terbang melintasi zona waktu demi mengais ilmu—yang
mungkin sangat melimpah di rumahnya sendiri. Walau ada juga di antaranya yang
terdorong mimpi orang tua, bosan menganggur, atau sekedar ingin naik pesawat.
Pada akhirnya, setiap tujuan itu tak berarti di hadapan
waktu: mereka semua tergilas rutinitas dan mau tak mau membentuk diri dengan
cetakan yang sama di sekolahnya.
Terlintas pertanyaan, untuk apa orang-orang ini menghabiskan
waktu mempelajari agama. Sebagian mereka sudah mempelajarinya di rumah, di
kelas, atau bahkan di majlis keagamaan. Sebagian lagi bahkan sudah pernah masuk
ke instansi pendidikan yang persis sama hanya negara berbeda. Mempelajari hukum-hukum
agama, konsep, kisah, dan praktek keagamaan yang sama dimana-mana,
bertahun-tahun, untuk apa?
Pulang dengan selembar ilmu yang sama seperti kawannya. Sebagian
mendapat kesempatan mengajarkan ingatannya pada mereka yang lebih muda bahkan
tua. Yang muda dan bersemangat, nantinya akan dikirim ke tempatnya belajar
untuk mempelajari pelajaran dan buku yang juga sama, hanya guru berbeda—mungkin
temannya. Untuk apa?
Sebagian pelajar agama disini dengan antusias memamerkan api
semangat keagamaan di matanya. Ini lain cerita. Setiap ilmu dan buku yang
dilahap adalah untuk kepuasan dan pencapaiannya sendiri. Meski beberapa
pencapaian itu mungkin berhubungan dan berpengaruh terhadap orang disekitarnya—itu
pun mungkin. Tak ada pertanyaan untuk yang satu ini. Layaknya orang gila, ia
punya dunianya sendiri—alasannya sendiri. Yang seandainya ia jelaskan pun,
takkan kupahami.
Ada lagi yang lebih mengerikan: bersekolah demi sebuah
kontrak kerja. Fenomena perburuhan ini mudah sekali ditemukan di universitas
pada umumnya. Dimana pemilihan jurusan bahkan kampus berorientasi ngantor
atau potensi gaji yang aduhay. Mereka bermimpi akan bekerja setelah
kuliah, menabung dan beli rumah, lalu menikah. Beranak dan berharap
keturunannya mendapat kehidupan yang minimal lebih baik darinya walau tak sesuai
keinginan si anak. Dan terulang entah sampai generasi keberapa.
Aku memang layaknya sih bersyukur. Dunia yang memang sudah
tak menarik rupanya jadi sebab kakek-bapak-anak-cucuk mengulang pikiran yang
sama meski aplikasinya berbeda. Tak ada gejolak, tak ada tuntutan mendesak
untuk melakukan sesuatu yang baru dalam waktu dekat. Kedamaian ini membuat
kreatifitas manusia tumpul. Ya, ini semua berkat kedamaian yang lama sudah
tercapai.
Dunia akhirnya memang itu-itu saja dan pantas rasanya tuhan
mengakhiri pertunjukkan dramanya. Rupa-rupanya manusia lebih kreatif sehingga
skenario tuhan pun hilang arah. Perdamaian yang keburu dicapai sebelum waktunya
membuat rentang waktu tuhan membuat cerita membosankan. Malah, berkat kebosanan
itu sebuah pertanyaan jadi sempat dilontarkan: tuhan, apa arti pertunjukkan
ini?
Entah kenapa tuhan tersenyum.
Seminggu tanpa kelas
Beirut, Mon 24 Okt
No comments:
Post a Comment