Tengah malam sebuah motor tanpa lampu menyala terlihat mendekati dari belakang.
Jalanan memang sepi.
Dugh!
Nyeri terasa menyengat ke otak sampai ujung kaki.
Hangat dan basah, disambut perih yang menahan ronta di belakang leher.
Lemas membuat gas dan kemudi motor jadi tak terarah, dan jatuh.
Motor terlihat terseret jauh ke depan.
Kaki tangan perlahan mati rasa, dan mata kabur.
Derap kaki dan saut-sautan tak jelas mendekat. Satu orang sekilas terlihat mendirikan motor dan membawanya pergi. Satu dua kaki membuat tubuh bergeser. Sampai nyeri membuat buta dan tak sadar setelah tendangan terakhir di bawah kepala.
Tinggal bayang-bayang soal hutang dan wajah orang tua. "Aku akan mati..." Katanya pada diri sendiri.
Sisa kesadaran sudah memvonis akhir hidupnya. Dan ragam besarnya penyesalan membantu nafas menghentikan kerjanya.
Tiba-tiba sebuah kesadaran kecil menunjukkan batang hidungnya dan berkata, "Jadi, cuma sampai sini?"
Ketakutan dan penyesalan mulai senyap.
"Jadi begini kau akhiri kisahku, Tuhan?" Tangis dan ronta pun berhenti dan rona perlahan tenang.
Kesadaran kecil itu lahir dari sugesti yang bercumbu dengan waktu. Menghasilkan alam bawah sadar yang bodoamat dan legowo. Mudah menerima kenyataan meski diawali penyesalan. Cepat menyingkirkan segala beban. Merangkul kemungkinan dan relatifitas kehidupan.
"Oke... Sampaikan maafku pada ayah dan ibu. Terima kasih." Benak berkicau meski tak tahu bahwa itu yang terakhir.
Nafas mengucap perpisahan terakhir pada senyum yang tersulam di bibir.
***
Ruang putih di depan mata dan di bawah kaki terlihat begitu dalam dan luas meski tak gelap. Jauh pandangan memandang kekosongan membuat tenang. Sampai, teringat semua ketegangan yang terkahir ia rasakan.
"Aku sudah mati." Tertunduk, dan mengenang senyumnya yang terakhir.
Pasca liburan cukup mengasyikkan. Rapat penjebolan hati seorang perempuan. Cimuncang-Gerlong.
Selasa, 4 Oktober.
No comments:
Post a Comment