Monday, 24 December 2018

Tsunami dan Hari Ibu

Dua jam sudah sore ini aku memilah pilihan toko kue untuk memesan hadiah di hari ibu. Aku ingin kirimkan kejutan padanya dan tante-tanteku. Mereka sedang reuni di rumah paman di Jakarta. Sampai aku memutuskan untuk mengirimkannya besok, karena uang top-up di aplikasi prabayarnya baru bisa diisi nanti malam oleh kawanku. Dan itu sudah sangat terlambat untuk mengirim kue hari ini. Kelewat malam. Yasudah. Kubiarian kejutan ini telat sehari.

Sekarang tengah malam. Aku sedang menunaikan ibadah movie night bersama kawan, datang kabar yang bikin hati tak enak. Tsunami terjadi di pantai Anyer, Banten. Satu provinsi sebelah Jakarta. Jam 9 malam waktu Indonesia barat tadi -- tepat satu jam setelah aku memutuskan untuk menunda pengiriman kue. Aku masih belum tahu berapa yang mati, apalagi siapa. Dan tentunya aku bisa yakin, tak ada satupun orang yang kukenal di sana. Tapi sebagai ekspat beribu kilometer jauhnya dari tanah air, caraku memandang warga negara sendiri agak berbeda. Karena sekarang aku hanya bisa melihat ibu pertiwi dari jauh seperti melihat sebuah kumpulan pulau -- yang diberi nama sama: Indonesia. Tak ada orang yang terlihat, meski kenyataannya, setiap pulau punya warna kulit dan betuk wajah masing-masing.

Kami hanya bisa melihat Indonesia dari luar, sebagai sebuah negara kepulauan yang besar. Cukup jauh jarak kita untuk tidak melihat siapa yang ada di pulau itu. Maka tsunami yang terjadi di Banten, Jawa -- pulauku, lantas memunculkan rasa yang memutar perut. Aku mual. Siapapun yang meninggal, aku merasakan kesedihan yang cukup signifikan. Sebab mereka semua sekarang tak terlihat berbeda -- bahkan tak terlihat. Yang bisa aku lihat hanya pulau tempat rinduku berpulang, bernama Indonesia.

Rencana kejutan sudah terlalu matang untuk dibatalkan. Besok, aku akan langsung menghadap wifi dan memesan kue untuk keluarga ibuku di Jakarta. Aku tak tahu apa yang lucu. Rasanya ingin tertawa tapi tak tahu kenapa.

Sebelumnya sudah terbayang jelas dibenakku, sore itu, saat memilah toko kue, gambaran ramainya tawa saudari-saudari ibuku mendapat kiriman kue dariku di Lebanon. Mereka pasti langsung meneleponku dan tenggelam dalam candaan keluarga seperti biasanya. Kini, bayangan itu sebenernya tak hilang. Hanya muncul sebuah gambaran alternatif yang hanya mungkin terjadi dalam benakku yang sedang kebingungan memilih rasa yang akan dipakainya: mereka memakan kue dengan bahagia namun tak bisa tertawa melihat berita di depan matanya.

Entah besok rasa apa yang akan muncul bersama kue itu. Meski kue dan tsunami adalah dua hal yang benar-benar tak ada hubungannya, tapi hatiku hanya satu. Dan tak peduli seluas apapun ia tumbuh, haru dan gembira masih terlalu besar untuk kurasakan bersamaan.

22-23 Des 18

Friday, 2 November 2018

Bahkan kita tak bisa melihat bumi

"Have you had a million reasons why you wishing never see the truth? Have you looked into the mirror and the problem staring back at you?"
Paralyzed, ATC.

Sejak beberapa tahun lalu, aku selalu menobatkan diri sebagai "pencari jawaban". Aku bertanya tentang banyak hal, meski tak semua hal. Hal-hal yang cukup fundamental seperti kehidupan, kematian, dan agama jadi buruan favoritku. Beragam pertanyaan sudah (kurasa) kutemukan jawabannya. Namun pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan sampai tahap tak ada lagi yang berarti. Pertanyaan yang kulontarkan bahkan kehilangan maknanya sebelum kutemukan jawabannya. Dan dalam arus santai yang tak berhenti itu, sejujurnya aku pun tak tahu apa yang sebenarnya ingin ku-cari tahu. Apa sebenarnya yang mengganggu pikiranku sehingga aku terus mengkritisi banyak hal? Apa yang ingin kuketahui?

Monday, 20 August 2018

Kata Wanita Tua

Malam ini membuatku heran

Atas mereka yang memikirkan masa depan

Memberatkan pikiran

Dengan instrumen waktu yang tak bisa dipatahkan

Sebagaimana yang terjadi sudah menjadi kutukan

Pun yang belum terjadi tetap tak bisa dikendalikan



Duduk di kedai minum itu aku tenggelam dalam perenungan

Sama seperti hari-hari sebelumnya, lamunan

Seorang wanita tua menegurku dengan sapaan

“Apa yang kau pikirkan?”

Kuceritakan tentang kebimbangan yang selama ini kurasakan

Juga kecemasan, akan manusia yang hanya peduli masa depan

Demi Tuhan,

“Jika mereka benar-benar hidup, tak akan ada yang kesepian!”



Ia tersenyum. Senyum yang entah bagaimana memberi kehangatan

“Mimpi adalah hal yang tak terelakkan”

Jawabnya mengalihkan pandangan

Jauh ke depan



Kita semua adalah budak keinginan

Namun terlalu lama mengikutinya begitu menyesakkan

Maka keinginan itu tetap terasing, sebab tak ada yang tahan

Untuk lama-lama merasakan

Seandainya kau sabar barang sebentar, dengarkan apa yang ingin ia katakan



Sebagai manusia kita tak mungkin melepaskan

Pasung dunia bernama ruang dan waktu, sebagaimana wajarnya penciptaan

Namun hati tempat bersemayamnya keinginan

Tahu, dan terus mencari karena ia punya kenangan

Dengarkan

Apa yang ia ingin katakan

Yang ia inginkan

Kau akan menemukan tujuan

Sebuah tempat peristirahatan

Tempat semua tak lagi terasa asing dan melelahkan



Hati ini memiliki kenangan

Yang begitu ia dambakan

Dan hanya akal yang dapat menafsirkan

Petunjuk-petunjuk saat kau memulai perjalanan



Kelak di ujung jalan

Akan kau temukan

Sebuah persimpangan di mana akal tak bisa lagi diandalkan

Saat itulah Tuhan

Datang padamu dengan sebuah tawaran:

Ketenangan

Yang hanya bisa kau beli dengan kerinduan.


Wherever you are in the world, i’ll search for you


Beirut, 20 Agustus 2018

Sunday, 19 August 2018

Siapa Jon Snow? Siapa Kita?

Rob Stark kehilangan ayahnya di ibu kota dan sekejap naik tahta dengan total suara seluruh utara. Kini sebagai Raja di Utara, ia memimpin seluruh klan yang loyal pada keluarganya menuju selatan untuk menuntut darah mantan penguasa utara--ayahnya. Satu, dua, tiga season ia berlaga dan akhirnya mati dibunuh di pesta pernikahannya sendiri.

Jon Snow, adik tiri Rob, dengan kesadaran penuh atas posisinya sebagai ‘anak haram’ tak sempat bermimpi semewah Rob untuk diakui sebagai pemimpin terhormat sebuah klan. Oleh sebab itu setiap ayunan pedangnya ketika berlatih menjadi ksatria didorong oleh mimpi yang lain: menjadi sukarelawan penjaga perbatasan—satpam kerajaan, atau bisa juga dibilang petugas imigrasi.

Friday, 3 August 2018

Luka Bakar di Punggungnya

Di ujung tebing, dengan hehutanan yang padat terlihat jauh di bawah, dan gelombang bumi yang terlihat kecil di kejauhan, aku berdiri menatap masa lalu.

Air mata mengalir begitu saja. Beragam memori tentang sekolah, peribadatan, dan kekecewaan raut wajah kerabat dekat membuat telinga ini tuli dari canda tawa kawan-kawan yang asik selfie di belakangku.

Saat itu aku memandang jauh kebawah. “Disini, aku berdiri di batas hidup dan mati.” Batinku. “Disini, adalah pilihan yang pasti jika aku ingin mengakhiri semuanya.” Angin begitu kencang menerpaku dari bawah.

Sial, Harusnya Kita Berteman!

Apa yang terjadi setelah kematian tetap misteri. Tak peduli sekeras apa agama dan pemikiran berusaha memastikannya. Sebab sampai sekarang, tak ada satupun yang akan percaya jika seorang datang dan mengaku sebagai penjelahah kematian—dan mengabarkan apa yang terjadi di sana.

Maka sekarang aku penasaran, apakah mereka yang telah mati, hadir di sekitar kita tatkala kita mengingatnya? Aku tak peduli berdasarkan teori apapun itu—tentang jiwa, ruh, arwah, barzakh, bahkan astral—apakah mereka memandang wajah kita yang mengabarkan beragam ekspresi, ketika kita mengingat mereka?

Tuesday, 24 July 2018

Merindu Bersama Iblis

Duduk di padang rumput itu sendirian, Iblis memandang bunga yang hangus digenggamnya. Boleh jadi kita mendengar burung-burung itu bernyanyi dari atas pohon tempat Iblis berteduh. Namun asap terlihat dari telinga Iblis, nyanyian merdu burung bulbul adalah caci-maki kutukan terhadap Iblis yang diam.

Senja berubah  malam begitu cepat. Begitu menatap langit, bulan sabit sudah melayang dalam kegelapan. Tak ada bintang kecuali satu. Setidaknya hanya itu yang bisa Iblis lihat.

Angin berhembus. Mengancurkan kelopak bunga yang hangus itu. Iblis hanya menatapnya membisu. Tak satupun fenomena alam yang terjadi sekitarnya membuat tubuh merah itu bergeming. Ia bagai batu hasil pahatan Tuhan yang tak dipamerkan. Dibiarkan berdebu di gudang semesta. Satu-satunya suara adalah sepi. Satu-satunya cahaya adalah amarah yang membara.

Friday, 1 June 2018

Berterima Kasih Pada Tulisan

Aku harus berterima kasih pada tulisan-tulisanku. Bukan apa-apa, mereka selama ini membantuku memahami diri sendiri—bahkan sampai membentuk siapapun diriku saat ini. Entah sudah berapa ratus ribu atau juta kata yang aku tulis dan rangkai, terlalu banyak untuk aku ingat semuanya. Biarlah pekerjaan mengingat kulepaskan pada jari-jari yanng makin lihai memilih huruf untuk membalas huruf sebelumnya. Pikiranku cukup memetik buahnya saja. Buah segar kontemplasi dari campuran air keadaan dan bibit pemikiran. Yang dikandung dengan lembut dan hangat oleh tanah keinginan dan hasrat.

Wednesday, 28 March 2018

Catatan Hutang Ketua Panitia



“Gaes, ada berita nih. Dengerin...” kalimat ini pasti pembuka kabar yang bikin pusing. Kalau tongkrongan sudah diintervensi urusan organisasi dan dipilomasi dengan lembaga negara.

Kami disini, kaum diaspora Indonesia di Lebanon. Alasannya beragam. Ada yang bekerja, belajar, atau bahkan sekedar pingin jalan-jalan tapi tak punya duit, jadi manfaatin beasiswa. Jumlah kami sedikit. Jadi, mau-tak-mau kami berteman; lucu-tak-lucu kami tertawa. Kapan lagi nongkrong sambil bicara lepas pakai bahasa ibu. Duh, bu, kami rindu.

Lebanon bukan negara sepuluh besar dalam daftar tempat yang Instagramable. Cuma ya daripada tidak ada, ya kan? Setidaknya masih terlihat sisa-sisa “Swiss of Middle East” di pusat-pusat kota. Kawasan bernuansa Eropa abad pertengahan seperti kota kecil Byblos masih pantas untuk latar selfie.

Hidup bersama orang asing dalam kultur baru bisa dipandang sebuah tantangan yang mengasyikkan. Tapi percaya atau tidak, energinya luar biasa. Paling tidak, berusaha untuk ngobrol satu jam dengan bahasa asing, mendorong otak bekerja lebih untuk merubah tatanan bahasa ibu yang biasa dipakai tanpa perlu konsentrasi. Orang asing kalau mabuk di sini, celotehnya pasti pakai bahasa ibunya. Tak perlu berpkir dia. Pemandangan biasa itu.

Berita Acara: Seminar Gibran From The Other Side of The World

[caption id="attachment_336" width="350" align="alignleft"] Mahasiswi Lebanese University memainkan oud.[/caption]

Barisan kolintang itu bermain dengan serasi. Mengiringi penyanyi pirang dari Beirut mendendangkan tembang Fairuz, “A’tiny Al-Nay”. Sebuah puisi mistis karangan maestro sastra asal Lebanon, Gibran Khalil Gibran.

Penampilan itu menandakan dibukanya kolaborasi acara Mahasiswa Indonesia dan Lebanon—Seminar International: Gibran From The Other Side of The World, Selasa, 27 Maret. Membahas sastra dan pengaruh Gibran di Indonesia, turut hadir pula seorang penulis muda asal Bandung, Asrie Tresnady.

Duduk di tengah panggung, Asrie menceritakan sepak terjang penerjemahan Gibran sampai efek tulisannya, pada karya-karya seniman di Indonesia.

“Dulu, nama penulis yang menerjemahkan Gibran meski karyanya sedikit tetap lebih punya nama ketimbang mereka yang banyak karya independennya. Tak peduli seberapa besar kesuksesan karya-karyanya.” Kata Asrie.

Monday, 26 March 2018

Muka Satu

Mari menertawakan kemunafikan kita, kawan

Wajah ketemu wajah

Telanjang tanpa bayangan

Biaran setiap jengkal tubuh dan diri memancar

Sinar kebenarannya masing-masing

Mulut itu bisa wangi

Jangan kau muntahkan oli

Yang tidak melumaskan

Tapi membuat karatan

Bibir itu bisa dibuka dan ditutup

Bisa mengeluarkan suara dan rasa

Bisa dicium dan tercium

Belerang pun bisa dicium dan tercium

Namun tak terkontrol

Karena terbuka namun tak bisa ditutup

Kau yang marah dan dendam

Membendung air bah agar tak tumpah

Pelawan alam

Akan hancur juga kau pada waktunya

Terpujilah ledakan bintang yang tak abadi

Ia akan muncul dan hilang di malam lain

Tak menahan diri demi pujian

Tak tergesa ingin menghancurkan

Kita sering lupa

Memuji dan bersyukur pada pencipta

Yang menjadikan kematian atau kehancuran

Sebuah akhir

Juga awal

Di saat yang bersamaan.


Untuk mereka yang asing-asing bau tai kucing


Dini hari Senin, 26 Maret 2018

Thursday, 22 March 2018

Kamu tidak tahu apa yang kamu baca

Aku pernah dimarahi seorang kawan karena hidup terlalu dibuat seperti mimpi. “Realistis dong!” katanya. Aku terlalu asik merangkai ide yang tak pernah jelas langkah dan arahnya. Buat ini buat itu.

Dalam kisah lain, kawanku menasehati yang lagi-lagi kukutip disini, “Kita ini budak keinginan mat,” bijaksana sekali.

///

Tadi sore di kelas, teman asal Somalia mengernyitkan matanya—seperti ada yang mengganjal, akalnya sedang mendidih.

Saat itu, kelas hukum Islam. Dosen menjelaskan persoalan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan apa yang diperintahkan agama—dari satu prespektif ulama tentunya. Kita sedang membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan solat.

Menurut mazhab ini, sujud harus di atas tanah, jika tidak mungkin, baru keluar pengecualin-pengecualian sampai yang terakhir adalah sujud di atas punggung tangan. Seorang bertanya, “Gimana kalau kita punya anak, dan batu yang dibuat sujud itu diambilnya ketika kita sedang solat?”. Dosen menjawab, “Batalkan solatnya dan ambil batunya. Jika anak kita mungkin akan mengambilnya lagi, pegang di tangan selama solat dan letakkan ketika hendak sujud, lalu begitu sampai selesai.”

Kawan Somalia ini heran mendengarnya. Kenapa Tuhan sebegitu kekeuh dalam menekankan keinginannya pada manusia. Baginya, ini hanya masalah sujud yang simbolik. Menyembah-Nya pastilah perkara yang lebih dari sekedar syarat-syarat simbolik. Kenapa tidak dibiarkan saja dan lanjutkan solat? Lalu kenapa begitu banyak syarat yang begitu paten sehingga tidak mengikutinya adalah tidak sahnya sebuah solat? Tuhan, apakah hatiku tidak lebih berarti bagi-Mu dari tubuh lemah ini? Begitulah yang dia curhatkan padaku.

Aku berpikir sejenak.

Kemarin, aku terbang ke alam ide bermain roman dengan para penulis kiri dari Amerika Latin. Aku mendapatkan satu hal: menulis adalah cara hidup bercinta dengan ruang dan waktu. Ada penulis yang bahkan mengatakan, “Menulis adalah bagian dari kehidupan, bahkan bagiku, bagian terpenting dari kehidupan.”

Menulis adalah romansa kehidupan dengan ruang dan waktu. Mereka yang menuliskan kisahnya, kisah orang lain, kisah fiktif, semuanya tak lepas dari pemandangan saat ini. Waktu sekarang—kehidupan, aku menyebutnya, adalah inspirasi atau faktor yang membuat penulis menulis. Mereka hidup di zamannya dan menyaksikan sesuatu, baik di dalam maupun luar dirinya. Lalu memutuskan untuk mengabadikannya lewat harapan yang belum terjadi, atau memori sebagai pengingat, atau sekedar membingkan waktu-nya saat itu agar mereka yang se-waktu dapat melihat dalam prespektif yang diharapkan sang penulis. Ia membuat batas-batas ruang dan waktunya sendiri ketika di saat bersamaan memuja ruang dan waktu-nya ketika menulis—lewat kata-kata.

The Creation of Adam by Michelangelo sebagai represntasi visual paling jos yang ada dibenak gue


Apa yang disaksikan dan dirasakan seakan  sayang sekali jika dilewatkan. Siapapun, harus melihatnya juga, kapanpun, dimanapun. Baik itu pengalaman waktu dan tempat yang buruk apalagi menggembirakan, penulis tak rela jika manusia tak juga menyadari pengalamannya. Ia akan membagikannya dengan gairah dan tulus dalam bentuk lembaran yang diperjual-belikan agar momen, tetap abadi.

Kata-kata bagaikan sang kekasih yang dipuja.

Penulis dan kata-nya adalah dua wujud yang terpisah dan berbeda. Namun kebersandingan keduanya adalah mutlak. Mereka tak bisa dipahami tanpa satu sama lain. Dan menulis sebagai pekerjaan, aksi, adalah rahim bagi keduanya.

Jika ada hipotesis sains yang mengatakan bahwa energi itu bisa disebut Tuhan yang menggerakkan dan menjadi satu-satunya alasan unsur di jagat ini berkontemplasi menjadi sesuatu yang beragam, maka menulis, yang menjadikan manusia penulis, dan kekosongan menjadi kata, maka menulis juga Tuhan itu sendiri.

///

Kufu. Dalam bahasa Arab, artinya perbandingan. Istilah ini aku kenal ketika kawan yang marah di awal tulisan, mengigngat betapa tidak tahu dirinya kita berharap jadi pacar selebgram.

Katanya, agama menyarankan kita mencari pasangan yang satu kufu, sebanding. Dalam artian satu kasta, satu lingkungan, satu digit rekening bank. Tepat sasaran sekali ini saran.

Kecocokan latar belakang memang kalau dipikir-pikir itu jadi pemoles lancarnya suatu hubungan. Karena jika yang dicari perbedaan pun, satu rumah saja sudah pasti beda manusianya. Jadi yang penting wadahnya sama dulu, isinya apa, tak masalah. Biar kali disejajarkan, terlihat serasi dan cocok. Dan perbedaan warna isi justru jadi penghias yang cantik. Walau tentu saja, kembali ke hukum alam, tidak ada yang tidak mungkin. Ini tidak mutlak, tapi, ya begitulah kura-kura.

Jatuh cinta yang absurd itu, yang tak kita pahami apa maksudnya dan kemana jalannya, memang menyulitkan. Apalagi ketika kita hati terlanjur dipinang oleh orang yang beda kufu. Entah apapun sisi apa dari diri sang kekasih yang bikin kita gegap-gempita.

Sebab kita ingin, namun tak bisa—atau setidaknya sangat sulit. Bisa jadi ini karena kebanyakan noonton film, khususnya India. Yang perjuangan melawan batas adalah bukti kecintaan. Padahal, berjuang pun tak sesempit melawan komunitas, kan?

Pokoknya ya begitulah. Aku mau berpuisi saja.

Alfabet-ku hanya memiliki dua enam huruf
Aku selalu menggambar dunia dengannya
Berlagk seperti Tuhan
Sekarang, kutahu Ia cemburu
Sebab dua enam jumlah itu
Tak lagi berguna
Tangan kini dipasung hati
Hanya lima huruf yang terlihat mataku
Nama-mu yang terus mengejar nadiku

///

Aku tak biasa dengan sistem. Jadi biarkan setiap kata ini bercerita semaunya. Sahut-menyahut dengan kata sebelum, dan setelahnya. Sesuka hati. Bagai hidup ini yang tak pasti.

Saturday, 17 March 2018

Meminta Manja

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Agar tak sempat waktu
Mengenalkan kebencian

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Kata-Mu hidup ini fana
Sayang sekali jika tidak bahagia

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Agar akal dapat belajar
Dengan jujur adil dan tenang

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Karena nyatanya perkara hati belum bisa kita taklukkan
Dan pembolak-balik hati, katanya itu Kamu, Tuhan

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Bersihkan rumah-Mu
Dari kami manusia, yang tak tahu diri ketika bertamu

Musyarofie, malam minggu

Monday, 12 March 2018

Harmoncuk

Malam ini mendengkur. Tidak sendu, apalagi menangis. Tidak tersenyum, sebab aku berada dalam rumah. Kemilau bintang tak tertangkap retinaku.

Malam ini mendengkur. Kawan-kawanku tertidur. Dan aku tertimpa kerinduan. Karya-karya para maestro kata dan cerita, mengaduk malamku yang membuat kantuk tak tenang dan pergi.

Rindu ini, bukan atas sesuatu yang hilang, tapi hal yang justru belum pernah datang.

Apa yang pernah temanku bilang, masih terus terngiang sampai detik ini. "Mat, kita adalah tawanan keinginan".

Tuesday, 6 March 2018

Di Negeri Arab: Cerita Tentang Manusia

Aku terus berjalan. Melewati bangunan-bangunan tinggi tempat mereka tinggal. Lengkap dengan matahari senja yang lembut, dan nuansa sibuk pulang kerja.

Anak-anak kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu berteriak saling mengejar. Bermain, tawa mereka tak tertahan beban tugas dari gurunya. Memang, seberat apa beban sekolah jika dibanding hidup?

Aku berjalan di peradaban metropolitan. Ibu kota tepatnya. Di negara kecil yang terhimpit dua medan perang yang dipaksakan.

Bungkus Gorengan

Aku bertemu dengannya terakhir kali bulan lalu. Di peresmian bantuan kemanusiaan untuk korban banjir. Acara itu ramai sekali.

Orang-orang penting hadir. Mereka pakai rompi -- pelampung sih sebenarnya. Sebagai tanda atau pesan. Bahwa mereka bersama korban banjir -- bahwa satu derita untuk semua.

Ia tampil gagah sekali di antara para pejabat. Tanpanya, bantuan itu takkan turun. Hebat kan?

Friday, 2 March 2018

Keluh Jiwa yang Kecil

Getar kertas di tangan pujangga
Gugup dan geram penyebabnya
Karya adalah anak tanpa malam pertama
Ungkapan rasa yang berbahaya
Hak cipta memasung sastra
Mengikis ruang gerak pesan yang bercita-cita
Apa masalahnya?
Peradaban mendukung perubahan lewat rekening BCA
Tak lagi ada gelora
Sebab semangat dan rasa
Kini terhitung dalam lembaran uang semata
Kita tak lagi mengenal ketulusan yang menghina
Menghina perendahan, pemerkosaan, dan ke-congkak-an penjajah budaya
Puisi kita tak lagi sanggup untuk dibaca
Buku hanyalah nama x harga pasar di Gramedia.

__________

Entah kapan

Tentang Dia

Di scene-scene film Bollywood, kita bisa melihat seorang pria tanpa payung. Berjalan tenang dengan satu pandangan yang menentukan arahnya. Tentu para piguran, entah bisa jadi ayah, ibu, saudara, teman, paman, bibi, sepupu yang patah hati; semuanya dari keluarga wanita. Mereka kaget melihat kehadiran pria yang di kenal. Di kenal memiliki kisahnya bersama sang wanita. Yang saat itu menangis di bawah naungan payung, merangkul anaknya, di hadapan pemakaman suaminya.

Kisah ini tidak sedramatis itu. Kalau pun hujan, si pria pasti bawa payung. Dan meskipun ia memilih waktu kemunculannya di saat pemakaman sang suami, tak mungkin ia menghampiri kekasihnya yang sedang berduka.

Monday, 19 February 2018

Valentine Bersama Martir

Hari itu valentine. ‘Entah kenapa’ aku malah mengunjungi pemakaman. Tempat tubuh para martir perang diabadikan lewat nisan dan pekarangan yang indah.


Sepi, bukan waktu ramainya memang. Berkat itu kehadiran seorang wanita muda dengan mudah mencuri perhatianku. Ia sendiri. Duduk di samping nisan, mematung dengan setangkai mawar di tangannya. Tak ada suara doa yang terdengar, bahkan mulut pun tak bergumam. Terlihat matanya memandang foto martir makam itu.



Luka Mimpi

Lubang hitam itu menjadi satu-satunya mimpi yang kurasakan. Baik dikala mata terpejam maupun melek di siang bolong.

Pasung keinginan, begitu aku terus memujinya. Pujian yang lahir dari tumpukan kutukan.

Aku ingin begini, aku ingin begitu, bernyanyi seperti lagu pembuka anime Doraemon.

Suasana Pagi Condet

Kulihat masyarakat begitu antusias pada pagi hari, berusaha bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan. Supir angkot dengan wajah lesunya, ibu-ibu dengan anaknya yang mungil menuju pasar, pembersih lingkungan mulai menyapu ditengah-tengah jalan, para pedagang dengan rokok terselip disela-sela jari tangan, sembari menunggu pembeli datang.

Semuanya bersama satu kesatuan, bersosialisasi sebenar-benarnya, tanpa hape tanpa media sosial. Tawa riang, kadang sampai berkeringat antar sesama pejuang. Laki dan wanita membaur tanpa mempedulikan usia, menanyakan kabar keluarga, penghasilan sebelumnya, tagihan air, listrik, dan kebutuhan lainnya. Hidup mereka hidup sebagaimana harusnya, nyata di depan mata, walau raga kadang tak berdaya, namun dipaksakan seperti sediakala.

Sunday, 18 February 2018

The Bohemian, and The Money

The Bohemian. Tulisan itu menyala dengan lampu tali berwarna kuning.

Malam akhir pekan ini bangku-bangku banyak yang kosong. Sebabnya adalah musim dingin. Orang-orang lebih suka dikelonin.

Duduk sendirian di bawah temaram lampu bohlam; agak hangat setelah menenggak segelas anggur. Beban pikiran membuatnya tertunduk sejak awal.

Thursday, 15 February 2018

Valentine-ku

The most beautiful word on the lips of mankind is the word “Mother,” and the most beautiful call is the call of “My mother.” (Lalu deskripsi menggunakan seisi dunia tentang sosok ibu) –Khalil Gibran

Dulu pernah ada tantangan. Waktu masih menjadi calon kadet wartawan, untuk menulis tentang sosok ibu. Untuk membuat pembacanya, merasa kurang membalas kebaikan ibunya; membuat yang baca ingin menelepon ibunya; membuat mereka yang merantau mendadak galau dan nangis mengingat ibunya; dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku lupa sudah apa yang kutulis. Tapi, kami (aku tak sendirian) gagal, itu yang kuingat. Gagal maksudnya redaktur tak puas.

Bos meminta kita menulis sesuatu yang memantik rasa. Bukan deskripsi tentang ibu sedang apa, dia suka apa, dia bagaimana. “Cukup satu kalimat atau paragraf yang buat pembaca menyadari hal besar dalam sosok ibu, lewat hal-hal unnoticed darinya.” Begitulah kura-kura.

Kemarin, ketika kelas lagi-lagi gagal menjaga pikiranku, aku ingat ibu dan menulis:

Aku duduk di samping-mu. Lalu merebahkan kepalaku di pangkuan-mu yang sedang menonton TV. Saat itu, dan hanya saat itu, aku benar-benar berkata: Persetan kau dunia.

Untuk Valentine-ku, ibu.

__________

Kamis Pagi, 15 Feb

Sunday, 11 February 2018

Ali Syariati dan Qurban

Siapa tak kenal Ali Syariati?  ((Banyak))   Filsuf sekaligus Sosiolog Agama asal Iran ini sangat akrab di telinga pemikir terutama mahasiswa. Ide-idenya seputar revolusi, kemanusiaan, permasalahan sosial, bahkan agama sekalipun cukup terkenal karena gaya tulisannya yang mengajak orang untuk berpikir.

[caption id="attachment_279" align="aligncenter" width="300"] Dari Google[/caption]

Sejak kecil, Syariati menjadi penggemar sastra di bawah bimbingan ayahnya. Selepas SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Masyhad pada tahun 1955. Berkat prestasinya ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke Paris, Perancis. Di Paris inilah awal kisah yang menjadikannya Syariati yang kita kenal sekarang. Syariati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan serta mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.

Kontra-diksi: Sebuah Bacotan

Meminjam perkataan Jon Snow: kita semua adalah anak kecil dalam sebuah permainan dan saling berteriak, aturan mainnya gak adil!

Mengambil posisi akan membuat kita berhadapan dengan posisi yang lain. Sejauh ini, hanya keterbatasan dunialah penjelasan paling logis.

Habis Baca Dilan: Sebuah Nonsense

[caption id="attachment_271" align="aligncenter" width="300"] Foto: Bedah buku “Dialog 100” oleh komunitas Jakatarub di Univ. Parahyangan, Bandung (sekitaran 2014). Buku yang bercerita tentang 100 kisah nyata toleransi. Benar-benar tidak ada hubungannya dengan tulisan ini. Kecuali keberadaan Pidi Baiq sebagai pembedah buku saat itu.[/caption]

Kawan saya si Syam-Menyeduh baru saja memposting curhatannya. Ia baru baca Dilan-nya Pidi Baiq di tengah pusaran angin topan ujian yang tak tahu diri dan maha tidak penting. Yah, saya pun baca, itu Dilan. Dapet linknya dari dia. Dan, inilah yang aku pikirkan.

///

Kisah-kisah Dilan dan Milea yang diolah jadi novel oleh Pidi Baiq membuatku tersadar, bahwa masa lalu yang diingat, punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar sesuatu sambil tertawa dan geleng-geleng kepala; bahkan ketika pelajaran itu nyatanya pahit!

Wednesday, 7 February 2018

Tentang lukaku, habis kena peluru

Mungkin untuk orang Indonesia, punya luka bekas peluru adalah sesuatu yang jarang. Wajar jika dibanggakan, negeri kita adem-ayem sejak 98. Masa reformasi pun beda dengan peperangan. Tetap jarang yang pernah kontak langsung dengan senjata.

Tapi, kalau tahu ceritanya si Omat, kekerenan bekas luka di lehernya akan hilang seketika.

Ia tertembak di Lebanon. Bukan karena hadir di medan perang, apalagi karena ikut membela Palestina, tapi sedang nonton parade.

Tuesday, 6 February 2018

Kesaksian Pengungsi

Bahkan kabar yang kita sebut propaganda takfiri pun tak selalu datang dari luar.

Di Suriah, tak sedikit masyarakatnya sendiri yang tak terlibat perang tapi berpikiran oposisi. Mereka sedikit banyak mengabarkan hal yang sama seperti yang dipercaya kebanyakan orang di Indonesia.

Saya bertanya pada seorang teman asal Damaskus. Sebelumnya ia sudah mengenalkan posisinya: bersama Assad dengan alasan yang cukup logis. Dengan melihat sejarah dan kondisi geopolitik secara luas. Ia berkata, "Assad bukan orang yang super baik dan benar, tapi dia terbaik diantara semua yang kita miliki saat ini".

Setelah berita bebasnya Aleppo mencuat, saya mendatanginya dan mengucap selamat. Ia tersenyum.

Lalu saya teringat seorang lain yang juga berasal dari Suriah. Ia bekerja di Lebanon untuk menghidupi keluarga di Suriah. Ia oposisi. Begitu ditanya soal kondisi negaranya, ia menceritakan soal pembantaian dsb. Persis seperti yang dipercaya kebanyakan Muslim Indonesia.

Sebelah Mata: Mabuk Konflik

Setelah krisis figur pemerintah selama bertahun-tahun, Indonesia kini digadang-gadang dapat angin segar. Sinisme dan rasa muak, jijik, dan lelah terhadap pemerintah lama yang impoten membuat gairah si seksi Jokowi bikin masyarakat mendadak orgasme.

Dulu Indonesia seperti orang setengah tidur, sehingga setetes air cukup membuatnya melompat kaget.

Jokowi harus berterima kasih pada estafet pemerintah sebelumnya. Dosa mereka membuatnya terlihat suci hanya dengan sedikit gaya, visi, dan cara kerja yang berbeda.

Dan masyarakat harus lebih waspada. Sebab sakit hati terhadap pendahulu bisa membuat kita jatuh cinta pada sosok baru yang bertentangan. Kita harus sadar bahwa hubungan rakyat dengan pemerintah layaknya pelayan dan majikan. Bukan pacaran.

Saturday, 13 January 2018

A Tribute for Nella Kharisma

Mendekat, dan berbisiklah di telingaku
Bawa aku kembali ke masa itu
Cerita tentang senja
Tentang taman dan tikar
Cahaya yang sederhana
Menghangatkan hati kita dengan tawa

Berbisiklah, di telingaku
Padamkan api ini
Damaikan ego yang cemburu
Dengan kabar, dan pertanyaan basa-basi
Yang menggelitik
Yang buat aku ingin mengkritik

Berbisiklah, di telingaku
Dengan nafas-nafas pendek
Yang hangat dan penuh hasrat
Yang memberatkan hati
Dengan ambisi dan mimpi

Berbisiklah, di telingaku
Dengan kalimat yang tak sempurna
Terpotong tangis yang sedu
Dengan air mata yang bermuara
Dan membasahi hatiku

Berbisiklah, di telingaku
Rangkul aku
Dan kita ikuti irama itu
Di bawah cahaya biru
Katakan di telingaku
Dam dudi dam aku padamu.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...